Media Terjebak Narasi Instan, Korban Krisis Iklim Lokal Terlupakan

Rosyidin S
Sabtu, Oktober 04, 2025 | 21.07 WIB Last Updated 2025-10-04T13:08:10Z
Diskusi tanpa batas, penguatan kapasitas media dan jurnalis menyikapi isu perubahan iklim, (Foto: Rosyidin/MP).

MANDALIKAPOST.com – Isu perubahan iklim yang dampaknya merayap dalam jangka panjang, jauh dari sensasi peristiwa sesaat, kini menjadi ujian etika dan profesionalitas bagi media dan para jurnalis.


Alih-alih menyajikan isu ini sebagai berita harian yang mendidik publik, media cenderung terjerat pada tuntutan ritme berita instan, sebuah kondisi yang mengancam kelangsungan hidup ekologis dan sosial di daerah seperti Lombok Timur.


Tantangan peliputan yang masif ini mendorong INKLUSI (lembaga kemitraan Australia-Indonesia), Forum Jurnalis Lombok Timur (FJLT), dan Lombok Research Center (LRC) untuk menggelar inisiatif kritis, penguatan kapasitas jurnalisme krisis iklim. 


Hal ini mengemuka dalam diskusi "Perubahan Iklim dalam Perspektif Media" di Classic Coffee dan Resto, Sabtu (4/10), yang dihadiri oleh Ketua FJLT, Rusliadi beserta anggota bersama praktisi media sekaligus perwakilan Geopark Rinjani, Fathul Rakhman dan peneliti LRC, Dr. Maharani.


Bukti Konkret Diabaikan, Kebijakan Terancam Mandek


Fathul Rahman dari Geopark Rinjani secara tegas mengungkap fakta yang tak terbantahkan. Penyusutan kawasan hutan dan kenaikan air laut bukan lagi sekadar prediksi. 


“Kami sudah mempelajari peta kawasan hutan Sambelia dalam beberapa puluh tahun. Sekarang hutan semakin menyempit. Di Labuhan Haji, air laut bahkan sudah sampai ke pinggir jalan,” ungkapnya, menunjukkan betapa krisis ini sudah di depan mata.


Peneliti LRC, Dr. Maharani, menyoroti mandat krusial media dalam menahan laju kerusakan iklim. Ia menyatakan, pengawalan pers adalah kunci kebijakan publik. "Contohnya, kalau tidak dikawal media, pengerukan bukit di Sembalun yang baru-baru ini viral pasti akan berlanjut, tidak akan dihentikan pemerintah seperti sekarang,” jelasnya.


Namun, pengawalan ini terhambat oleh mentalitas media sendiri. Ketua FJLT, Rusliadi, mengakui masalah fundamental: isu lingkungan "sering dianggap tidak seksi atau sedikit pembaca," ditambah lagi "proses pengawalan isu iklim biasanya panjang."


Sulit Keluar dari Jeratan Berita Harian dan Ruang Sempit


Praktisi media, Fathul Rakhman, secara blak-blakan menyoroti paradoks peliputan: dampak iklim yang terbentang puluhan tahun seperti kenaikan suhu laut atau pergeseran garis pantai mustahil disajikan dalam laporan harian yang hanya menuntut ringkasan 300 hingga 500 kata.


"Karena perubahan iklim jangka panjang, jadi orang tidak merasakan peristiwa itu. Coba kalau tanya sekarang enggak tahu, karena itu puluhan tahun baru tersa dampaknya," katanya.


Tantangan diperparah oleh sempitnya ruang pemberitaan dan fenomena polarisasi isu iklim di tingkat global, yang bahkan membuat banyak pemimpin politik menolak mengakui krisis ini, berujung pada minimnya kebijakan solutif.


Fathul Rakhman mendesak jurnalis untuk mengubah pola pikir, menjadikan perubahan iklim sebagai berita harian agar menjadi edukasi masif bagi masyarakat, selayaknya berita ekonomi atau olahraga yang memiliki rubrik tetap.


“Sampai saat ini memang belum ada media yang khusus menata tentang perubahan iklim tiap hari ini," kritiknya, melihat ini sebagai peluang yang terabaikan.


Jurnalisme Wajib Mengangkat Suara Kaum Paling Rentan


Tuntutan paling mendesak adalah peran jurnalis sebagai "penguji" moralitas perusahaan yang mengklaim berprinsip ESG (Environment, Social, and Governance) dan sebagai megafon bagi korban-korban lokal.


"Inilah tugas teman-teman adalah memberikan, mengangkat suara korban orang-orang menjadi korban. Kontribusi mereka kecil terhadap perubahan iklim, tetapi kebanyakan  mereka korban terbesar," tegas Fathul Rakhman.


Ia mencontohkan tragedi kemanusiaan yang tersembunyi, seperti migrasi warga di Lombok Utara yang kehilangan tempat tinggal karena air laut tak pernah surut, atau kesulitan pencari nafkah kerajinan tikar di Joben Lotim karena kelangkaan bahan baku pandan akibat perubahan ekosistem.


Dampak sederhana seperti "biayanya makin mahal" untuk mencari pandan, menggambarkan bagaimana krisis iklim menghancurkan sendi-sendi kehidupan sehari-hari masyarakat paling bawah.


Diskusi ini mengukuhkan komitmen yang seharusnya sudah menjadi prioritas. Mengubah isu iklim dari berita pinggiran menjadi pemberitaan yang urgen di Lombok Timur, memaksa publik dan pemerintah untuk bertindak sebelum kerusakan menjadi ireversibel.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Media Terjebak Narasi Instan, Korban Krisis Iklim Lokal Terlupakan

Trending Now