Disayangkan, Isu Pergantian Sekda NTB Digiring ke Etnisitas, Politik Identitas

MandalikaPost.com
Selasa, Februari 08, 2022 | 17.41 WIB

Ilustrasi.

MANDALIKAPOST.com - Polemik isu rencana pergantian Sekda Provinsi NTB H Lalu Gita Ariadi yang berguir beberapa hari terakhir, mulai tak terarah. Beberapa pihak justru mulai menarik masalah ini ke sentimen etnisitas dan politik identitas.


Guru Besar Universitas Mataram, Prof Zainal Asikin tidak setuju dan menyayangkan dengan polemik pergantian Sekda ditarik ke ranah kesukuan maupun etnik. Karena itu berpotensi menimbulkan gesekan.


Menurutnya, pergantian Sekda adalah soal kinerja profesionalisme birokrasi, bukan soal kesukuan. Apalagi, Sekda jabatan bukan jabatan sebagai kepala suku.


"Tidak usah ditarik ke ranah etnik, suku. Ini persoalan kinerja profesionalisme pada level-level birokrasi. Jangan ditarik ke ranah suku karena Sekda bukan kepala suku. Itu nanti akan menimbulkan gesekan," katanya.


Jika Majelis Adat Sasak ikut andil dalam bicara pergantian Sekda, maka akan menjadi preseden yang buruk dalam proses birokrasi lingkup Pemprov.


"Etnis yang dibawa saya tidak setuju. Nanti sedikit-sedikit kita pakai Majelis Adat Sasak ketika ada kadis diturunkan," katanya.


Prof Asikin mengimbau agar Majelis Adat Sasak seharusnya andil memperjuangkan masyarakat adat Sasak yang terkena polemik, seperti polemik masyarakat dengan PT. GTI di Gili Trawangan. Bukan hanya memiliki andil saat pergantian Sekda.


"Kalau memang mau Majelis Adat Sasak selesaikan (membela) orang-orang Sasak di Sembalun. Selesaikan masalah masyarakat Sasak di Gili Trawangan. Ada ribuan orang Sasak dizolimi kok diam," tegas Prof Asikin.


"Tidak usah hal kecil ini Majelis Adat Sasak ikut. Peran membantu masyarakat Sasak jauh lebih penting," ujarnya.


Ia menyebut pergantian Sekda adalah hal wajar. Seperti dipilihnya Sekda Rosiadi Sayuti pada zaman TGB. Padahal Rosiadi saat itu dari kalangan akademisi di Unram, bukan memiliki jabatan karier di birokrasi pemerintahan.


"Dulu pun Sekda diangkat dan diberhentikan tidak melihat suku. Yang penting profesionalisme dan keahlian. Dulu Pak Rosiadi diangkat jadi Sekda harusnya kaum birokrasi departemen dalam negeri tersinggung," tandasnya.


"Kenapa harus dari Unram, padahal jabatan Sekda adalah jabatan karier. Kenapa karier orang kita pangkas dengan mendatangkan dari Unram. Itulah birokrasi berpikir pemerataan ketika itu sehingga tidak menimbulkan friksi-friksi," lanjut Prof Asikin.


Namun Prof Asikin juga mengingatkan agar mekanisme pergantian Sekda melalui proses yang profesional dengan terlebih dahulu ada evaluasi terhadap kinerja.


Jika hasil evaluasi menunjukkan kinerja yang kurang baik, maka wajar proses pergantian dilakukan.


"Pergantian pejabat tentu melalui mekanisme. Ada evaluasi. Jika mekanisme sudah benar itu tidak ada masalah. Oleh karena itu semua pihak harus menerima. Jika evaluasi menunjukkan kinerja kurang baik, wajar diganti," kata katanya.


Pergantian pun harus melalui mekanisme seleksi yang baik. 


"Pengganti hal yang wajar kalau mekanisme melalui tim seleksi," ujarnya.


Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Ihsan Hamid menyayangkan jika masalah birokrasi ini digiring ke masalah etnisitas dan politik identitas.


"Saya lihat bolanya sudah lari ke masalah etinisitas oleh kelompok tertentu. Padahal dalam kacamata birokrasi kan biasa saja. 

Presiden ganti menteri juga nggak ada alasan etnisitas kan, ya lebih ke kinerja lebih ke alasan evaluasi," kata Ihsan, Selasa 8 Februari 2022, di Mataram.


Ia mengatakan, yang dikhawatirkan adalah 

isu pergantian Sekda ini kemudian dibawa ke ranah personal, dan kemudian digiring ke yang lebih besar, suku dan etnisitas yang akhirnya justru kontraproduktif bagi pembangunan daerah ini.


"Kelompok lain yang mencoba memainkan etnisitas itu, ya saya kira terlalu berlebihan. Jangan sampai politik identitas kita perkuat dengan pola2 seperti itu. Ya, sayang saja kalau (masalah Sekda) dibawa ke etnisitas," ujarnya.


Ihsan memaparkan, pergantian pejabat Sekda dalam birokrasi pemerintahan adalah hal yang wajar. Hanya saja, dalam kontkes NTB, hal ini menjadi menarik karena baru kali ini rencana pergantian Sekda di saat masa tugasnya masih berjalan.


"Dalam konteks NTB, memang belum ada Sekda yang diganti dalam perjalanan. Kecuali alasan pensiun atau alasan persyaratan lain seperti pada batas usia. Sehingga ini menjadi pertanyaan publik," katanya.


Menurutnya, karena polemik ini sudah terlanjur mengemuka ke publik maka ada baiknya Gubernur NTB untuk menyampaikan ke publik terkait alasan pergantian Sekda ini.


"Pergantian Sekda hal yang wajar saja, selama ada alasan prinsip. Karena kadung bola sudah mengemuka menurut saya pak Gubernur baiknya memberi penjelasan lebih rasional ke publik. Termasuk jika Sekda diganti karena akan mendapat jabatan di pusat," katanya.


Berdasarkan informasi, polemik pergantian Sekda NTB ini masih belum pasti.


Dalam sejumlah kesempatan, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah juga menyampaikan, bahwa kinerja jabatan Sekda dievaluasi setiap dua tahun. Jika hasil evaluasi bagus, bukan tidak mungkin yang bersangkutan ditarik ke pusat.


"Evaluasi saja, kalau bagus kan beliau ditarik ke pusat. Kalau pun ada pergantian kan yang menentukan bukan kepala daerah. Kita hanya siapkan, dan keputusannya di tangan Presiden melalui Mendagri," kata Gubernur Zul.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Disayangkan, Isu Pergantian Sekda NTB Digiring ke Etnisitas, Politik Identitas

Trending Now