Cerita Wik-Wik : Rahasia Ibu Mertua dan Menantu yang Tangguh

MandalikaPost.com
Selasa, April 09, 2024 | 21.27 WIB
Ilustrasi Kisah Hidup.

KISAH HIDUP - Aku jadi serba salah malam itu. Harusnya bisa melepas rindu dengan Wanti istriku, tapi bu Endang mertuaku, malah sudah lebih dulu tidur di samping Wanti di depan televisi. 




Mau kubangunkan kasian, keliatannya beliau nyenyak sekali. Aku kecewa kenapa bu Endang malah tidur di situ?.



Padahal biasanya bu Endang paham, kalau setiap malam Jumat, areal matras depan televisi adalah kawasan sakral yang hanya boleh kutempati bersama Wanti. Dan biasanya, bu Endang juga tidurnya di dalam bersama pak Kerso suaminya.



Malam sudah pukul 11.30 waktu aku sampai rumah. Jam segitu anak-anakku Galih dan Imran pasti sudah tidur di kmr mereka. 


Sepanjang jalan tadi, aku sudah memikirkan akan menikmati jajan apem dari Wanti istriku yang pasti sudah menunggu.


Bukannya nggak bisa memendam hasrat dan ambisi. Tapi bagi pekerja kasar sepertiku yang sudah lama berjuang melawan kerasnya hidup dan kemiskinan, ritual malam sama istri ibarat hiburan untuk sejenak melupakan kemiskinan.



Jam terus bergerak, Wanti kubangunkan. Tapi menolak ajakan. Alasannya nggak enak, ada ibunya disitu. Aku berbaring di sampingnya, memberi kode.


"Besok kan masih bisa mas?," bisiknya.


"Duh, sudah tak terkendali dek," jawabku.


"Ih, apaan sih. Sini peyuk aja," kata Wanti.


Hal yang sudah kubayangkan jadi bubar. Terpaksa malam ini tidurku gelisah, di samping istri tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Malam Jumat kelabu, bathinku.



Televisi kunyalakan volume rendah, mencoba meredakan keinginanku dengan menyimak berita malam. 


Aku duduk di matras bersandar dinding, Wanti menjadikan kakiku sebagai guling. Dengkurnya bersahutan dengan bu Endang di sampingnya.


Di tengah berita malam, fokusku ke layar televisi berubah ketika bu Endang mertuaku bergerak dan mengubah posisi tidurnya. Yang tadinya menghadap tembok membelakangi aku dan Wanti, kini jadi terlentang. Selimut jarit yang dipakai tersingkap sebagian.



Jantungku berdebar. Bu Endang mengenakan daster tanpa lengan leher pendek. Belahan bukit hangatnya nampak menggoda iman. 


Mertuaku lebih berlemak ketimbang Wanti, tentu bentuknya lebih besar. Kuusap rambut Wanti, tapi diam-diam ingin sekali mengarahkan tanganku ke bukit hangat mertua itu.


Aku deg-degan, bu Endang kembali bergerak. Satu kakinya ditarik dan ditekuk naik, sementara yang satu tetap selonjoran. Selimut jarit luruh sebagian, membuat kawasan segitiga mertuaku bisa kulihat jelas. Kain segitiga yang kekecilan menutup hal yang menggunduk tebal.


Bu Endang mertuaku sudah berusia hampir kepala 5. Tapi penampilannya masih bisa mengundang kaum adam betah memandangnya. Wajahnya mirip Wanti istriku, kulitnya kuning langsat. Sedikit lebih pendek dari Wanti, juga lebih padat dan berisi dibanding istriku yang langsing.


Siaran berita di televisi tak aku hiraukan lagi. Pikiranku mengembara kemana-mana memperhatikan mertuaku. Ambisi yang tadinya ingin kuredam, justru bergolak semakin kencang. Dalam bathinku, bodoh sekali pak Kerso bapak mertuaku, kok melewatkan malam Jumat bu Endang?.


Mataku terbuka lebar ketika mertuaku bergerak lagi. Tangan kanannya menggaruk pangkal paha, beberapa kali membuat kain segitiganya semakin jelas mencuat. Aku tak bisa lagi mengendalikan sesuatu yang mulai berubah pada diriku.



Tanganku bergerak sangat pelan melewati kepala Wanti. Kudaratkan perlahan di atas bukit hangat bu Endang. Kutunggu reaksinya, takut kalau dia terbangun. Tapi bu Endang masih mendengkur, ku beranikan tanganku menekan dan meremas perlahan.


Bukan main sensasi yang kurasakan. Aku tak mampu lagi mengendalikan diri, tapi aku juga nggak bakal berani bertindak lebih jauh lagi kepada mertua yang harusnya aku hormati. Kepalaku makin pusing, aku beranjak ke belakang. Masuk kamar mandi.


Di dalam kamar mandi, kutuntaskan ambisiku  pakai tangan sendiri. Tentu saja sambil membayangkan benda milik bu Endang mertuaku. Kupacu dengan cepat, sambil menyebut nama bu Endang secara lirih.



Karena sudah sampai ubun-ubun, hanya 10 menit aku sudah meledak. "Uhh, bu Endang,"

"Tok tok tok". Kupikir puncratanku mentok di pintu. Tapi rupanya memang ada yang mengetuk.


"Ntok? Kamu masih lama?. Ibu ingin pipies nih," suara bu Endang memanggilku. 


"Oh, eh sebentar bu,". Baru saja pintu kubuka, bu Endang langsung masuk dan jongkok. Sudah kebelet gak bisa ditahan, katanya.


Salah bu Endang pipies dekat pintu, aku jadi susah melangkah keluar. Jadi ya kusaksikan saja mertuaku pipies. (*)




RUBRIK Kisah Hidup menuangkan kisah kehidupan yang diangkat dari cerita kisah nyata dan dikemas ulang dalam bentuk cerita romantis, cerita dewasa.


Kisah yang diangkat diambil dari Kisah Nyata, dan juga fiksi rekaan semata. Kesamaan nama, tempat, dan alur cerita bukanlah sebuah kesengajaan.


Simak Kisah Hidup lainnya di channel YouTube PUTRIE MANDALIKA.




https://www.youtube.com/@putriemandalika1277


Semoga setiap cerita bisa diambil hikmah dan manfaatnya. 


Punya cerita dan ingin berbagi? Kirim ke email : redaksimandalikapost@gmail.com






Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Wik-Wik : Rahasia Ibu Mertua dan Menantu yang Tangguh

Trending Now