Cerita Wik-Wik, Membantu Bu Hajah Setiap Dia Butuh

MandalikaPost.com
Kamis, Maret 30, 2023 | 09.08 WIB



Sejak Pakde mengalami sakit cukup lama, Bu Hajah mulai berubah. Wanita cantik berusia 38 tahun ini menjadi liar karena tak tahan melawan rasa kesepian yang melanda dirinya.









Namaku Anto 28 tahun, nama samaran. Aku tinggal di kontrakan bersama istriku Ani (24) dan Rino, anak kami yang masih bayi.  Kontrakan yang kami sewa itu milik Pakde Rusmin lelaki baya 60 tahun.


Pakde hanya tinggal bersama istrinya yang biasa dipanggil Bu Hajah. Bu Hajah berusia 38 tahun, merupakan istri kedua dari Pakde, yang kawin lagi setelah istri pertamanya meninggal.


BACA JUGA : Bu Guru Cantik Terpaksa Melakukannya Demi Menyambung Hidup


Beda usia mereka yang cukup jauh membuat pasangan Pakde dan Bu Hajah nggak bisa memiliki anak. Jadi mereka tinggal berdua saja di rumah utama yang letaknya di depan kontrakan ku.








Sudah tiga tahun ini aku dan istriku kontrak rumah disana. sejak kami menikah hingga sekarang punya anak satu yang masih bayi. Pakde menganggap kami saudara.


Apalagi dengan hadirnya Rino anak kami yang sedang lucu-lucunya. Bu Hajah merasa senang dan seringkali Rino dibawanya ke rumah mereka. Biasa di ajak main, dan sorenya baru kami ambil.


"Kalian bikin lagi aja deh, biar Rino sama ibu," kata Bu Hajah. 










Istriku tertawa saja saat mendengar hal itu. "Ya Pakde donk Bu harus produksi," jawab Ani istriku. Mereka berdua memang sangat akrab banget.


Aku yang bekerja sebagai sopir taksi juga merasa senang karena istriku jadi punya teman ngobrol. Karena aku kan seringkali pulangnya malam, bahkan pagi tergantung sift kerja.


Dari obrolan dengan Bu Hajah, istriku jadi tahu kalau selama ini Pakde sedang sakit. Makanya sejak menikah dahulu, Bu Hajah nggak bisa mengandung, karena Pakde nggak mampu.


Bu Hajah katanya seringkali kecewa, karena di saat dia butuh banget pakde nggak bisa memberikan. Kadang Bu Hajah terpaksa melakukannya seorang diri, demi memenuhi maunya.


Kisahku ini pun terjadi sudah sebulan terakhir. Sore itu Bu Hajah membawa Rino anak kami bermain di rumahnya. Karena sudah hampir malam, Ani menyuruhku.


"Kamu ambil Rino mas ya, sudah waktunya dia mimik cu su," kata istriku. Aku yang sedang off kerja pun melangkah ke rumah Bu Hajah untuk mengambil Rino.






"Duh mas Anto. Rinonya masih bobok tuh. Biarin aja dulu, ntar ibu yang bawa kesana deh," kata Bu Hajah yang merasa kasian dengan Rino. Takutnya anakku terbangun dan rewel.


Aku pun duduk menunggu sambil ngobrol. Pakde ternyata sedang pergi, katanya lagi cek up kesehatan di rumah sakit, pinggang pakde sakit udah cukup lama katanya.


Bu Hajah ngomongnya juga blak blakan sekali. Katanya akibat sakit itu Pakde sudah nggak berfungsi lagi. "Padahal usia ibu kan lagi butuh2nya mas," katanya dengan nada yang menggoda.


Sikap dan tingkah laku Bu Hajah memang nampak berubah beberapa bulan ini. Tadinya dia sosok wanita yang sangat keibuan dan menjadi panutan di komplek kami.


Istilahnya, dia yang dituakan oleh ibu ibu lainnya disini. Mungkin karena Pakde dulunya adalah pejabat kantoran yang sudah pensiun sekarang. Bu Hajah tampil dengan gamis.


Belakangan meski penampilannya tetap, tapi sikap dan cara bicaranya seperti dibuat buat, apalagi kalau berbicara dengan bapak bapak atau pemuda di sekitar sini.


Dan sore itu, aku membuktikannya sendiri. Sambil ngobrol denganku sesekali Bu Hajah mengerlingkan mata seperti memberi isyarat padaku membuat aku salah tingkah.


"Terus kalau ibu butuh menurut mas Anto ibu harus gimana?," tanyanya. Aku jelas bingung menjawabnya. Cuma kukatakan Bu Hajah harus sabar. Nanti juga Pakde sembuh.


Aku sendiri sebenarnya membayangkan bisa bersama Bu Hajah, karena obrolannya yang memancing terus. Tapi kutahan saja perasaanku, karena aku masih ragu saat itu.


Untungnya, Rino anak kami bangun sehingga aku ada alasan untuk pulang membawa anakku ke kontrakan. Tak lama Pakde pun sampai rumah dan kami ketemu di depan.


"Besok main sini lagi ya Rino sayang," kata Bu Hajah mencium anakku yang sedang kugendong. Dia sempat mencubit pinggangku saat itu. Untung Pakde nggak lihat.


Sejak kejadian itu aku jadi sering memikirkan Bu Hajah. Tapi kami jarang ketemu karena aku sibuk kerja nyopir. hanya istriku dan Rino, yang sering ke rumah Bu Hajah.







Dua Minggu berselang, istriku memberi tahu aku kalau sudah waktunya membayar kontrakan. Waktunya kurang tepat karena saat itu aku belum gajian dan nggak punya uang.


"Ya udah. Mas kesana, bilang sama Pakde kalau kita telat bayar kontrakannya," kata istriku. Malamnya aku pun ke rumah pakde untuk meminta keringanan bayar.


"Oalah, kirain ada apa toh mas Anto malam2 gini. Kalo soal kontrakan aman deh, nggak apa2 telat," kata Bu Hajah. Pakde katanya sudah tidur lebih awal karena habis minum obat.


Aku mau pamit pulang, tapi Bu Hajah menahanku untuk ngobrol dulu. "Paling Ani juga paham kok mas. Ibu buatin kopi ya, biar betah nemenin ngobrolnya," kata Bu Hajah agak manja.


Ku perhatikan gaya jalan Bu Hajah saat melangkah ke dapur. Gamisnya merah muda sangat kontras dengan kulit yang putih. Jujur penampilannya lebih menarik dari istriku.


Apalagi bagian belakangnya menggelembung dan enak dipandang. "Mas Anto kenapa, kok segitunya lihatin ibu?," Bu Hajah menaruh kopi sambil mengerling.


"Eh, oh makasih Bu Hajah kopinya. Saya terkesima aja, ternyata Bu Hajah cantik sih," jawabku memberanikan diri memuji kecantikannya. "Ih mas Anto, ibu jadi malu," katanya.







Di tengah obrolan, Bu Hajah kemudian mengajakku membahas soal singkong. Katanya dia selalu kesulitan ngupas singkong yang ingin dibuat jadi keripik untuk cemilan.


"Mumpung belum terlalu malam, mas Anto bantuin ngupas singkong ya," pintanya. Aku berniat membantu dan kami pun pergi ke dapur. Beberapa singkong harus dikupas.


"Kan gini gampang Bu. Ibu manja jangan2 nggak mau kotor tangannya," kataku sambil nunjukin cara ngupas singkong. "Iya lebih enak dikupasin mas Anto," ujarnya mulai memancing.


Bu Hajah membayangkan seandainya singkong milik Pakde masih berfungsi tentu dia akan bahagia. Lalu dia nanya nanya soal aku dan Ani istriku, dan kujawab kami baik2 aja.


Obrolan yang terus menjurus lambat lain membuat keberanian ku muncul. Pancingan Bu Hajah pun aku ladeni terus, sampai akhirnya kami larut dalam suasana indah.


"Mas Anto bantuin ibu ya. Ibu pengen singkong saat ini," katanya. "Iya Bu tapi jangan lama ya," kataku. Karena tawarannya sangat menarik, aku pun tak bisa menolak Bu Hajah.


Bu Hajah terpejam dengan wajah menghadap ke langit langit. Kuberikan dia sesuai permintaannya. Kami tak lagi memikirkan Pakde yang sedang tidur dan sakit.


"Makasih mas ya, udah bantuin ibu malam ini. Besok kalau ibu butuh, tolongin lagi mas ya," ujarnya. Kata Bu Hajah, uang kontrakan ku dibebaskan karena sudah membantunya.


BACA JUGA : Karena Bencana, Si Cantik Nabila Terjerumus Dunia Malam


Aku pulang dengan bahagia sekali. Uang kontrakan sudah aman dan aku juga sudah membantu Bu Hajah sekaligus mendapatkan hadiah dari wanita cantik seperti Bu Hajah.


Ani juga senang saat kubilang yang kontrakan rumah digratiskan untuk bulan ini, karena aku barusan membantu Bu Hajah ngupas singkong. "Walah baik bener Bu Hajah," kata Ani.







Kejadian tiga bulan yang lalu, saat ini masih kulakukan. Mana bisa menolak kalau Bu Hajah yang minta bantuan. Kami beberapa kali melakukannya jika ada kesempatan.


Sampai akhirnya Bu Hajah bilang kalau saat ini dia telat mendapatkan bulanan. Aku bingung harus sedih ataukah bahagia?. Sebab, Rino bakal punya adik, tapi lain ibu.


Tapi anehnya, Pakde malah bahagia juga mendengar kabar Bu Hajah. Katanya nggak nyangka seusia Pakde akan punya keturunan. 


"Ternyata Pakde masih tokcer mas Anto, bu Hajah sudah berisi," kata pakde bangga saat main catur bersamaku. 





Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Wik-Wik, Membantu Bu Hajah Setiap Dia Butuh

Trending Now