![]() |
Antusias para perempuan tangguh saat mengikuti FGD perempuan dalam penyusunan RPKP-KPP Sembalun. (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com - Suara kaum hawa bergema di Lembah Rinjani Resto & Villa, Desa Sembalun, Lombok Timur, pada Selasa (29/4) kemarin. Sebuah forum diskusi terarah Focus Group Discussion (FGD) khusus perempuan digelar sebagai bagian krusial dalam penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPKP) Kawasan Perdesaan Prioritas (KPP) Sembalun yang berorientasi pada pariwisata.
Langkah ini menjadi angin segar bagi perencanaan pembangunan yang inklusif dan partisipatif di kawasan yang terkenal dengan keindahan alamnya itu.
Acara yang diinisiasi oleh Tim Ahli penyusun RPKP ini menghadirkan beragam representasi perempuan dari enam desa di Kecamatan Sembalun. Tampak hadir perwakilan dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tokoh-tokoh perempuan berpengaruh, tenaga pendidik, hingga para petani perempuan yang tangguh.
Camat Sembalun turut memberikan dukungan dengan menugaskan Kepala Seksi Sosial Kecamatan Sembalun untuk mengikuti jalannya diskusi hingga usai.
Semangat pengarusutamaan gender dan keberlanjutan menjadi landasan utama dalam forum yang bertujuan untuk menjaring pandangan dan kedudukan perempuan dalam dinamika pembangunan kawasan Sembalun.
Selain itu, FGD ini juga berupaya mengidentifikasi permasalahan serta potensi solusi dari sudut pandang perempuan, dan merumuskan skala prioritas program yang lebih responsif terhadap kebutuhan mereka.
Laeli Sukmahayani, seorang ahli gender dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mataram, yang bertindak sebagai gender expert dalam tim ahli, menyampaikan penegasannya dalam sesi pengantar. Ia menekankan bahwa pariwisata di Sembalun tidak boleh tereduksi menjadi sekadar alat komodifikasi.
"Pariwisata seharusnya menjadi solusi atas permasalahan sosial dan lingkungan yang ada di kawasan ini," ujarnya dengan nada mantap.
"Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan Sembalun. Oleh karena itu, suara mereka harus menjadi bagian sentral dan tak terpisahkan dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan," imbuhnya.
Diskusi yang berjalan dinamis dengan metode kompas berhasil memunculkan beragam rekomendasi penting dari para peserta.
Beberapa isu krusial yang mengemuka antara lain kebutuhan mendesak akan air bersih dan sanitasi yang layak, perlindungan terhadap fluktuasi harga pasar hasil pertanian, hingga upaya penguatan ekonomi lokal yang berbasis pada pemberdayaan perempuan.
Kegiatan FGD ini juga menjadi respons atas tantangan pembangunan kawasan Sembalun yang selama ini dinilai kurang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, khususnya perempuan. Kondisi ini disinyalir telah menciptakan ketidakadilan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada.
Tekanan yang terus meningkat dari sektor pariwisata justru memperberat beban yang dipikul oleh perempuan. Bukan hanya beban ganda dalam ranah domestik dan publik, tetapi bahkan hingga beban tiga lapis (triple roles) yang semakin membatasi ruang gerak dan potensi mereka.
Ironisnya, dampak dari pembangunan yang kurang adil ini paling sering dirasakan oleh perempuan, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi, yang pada akhirnya menempatkan mereka pada posisi yang semakin rentan dan terpinggirkan (termarjinalkan).
Kesadaran bahwa kebutuhan dan aspirasi antara laki-laki dan perempuan seringkali berbeda menjadi landasan penting dalam forum ini. Mengakui dan mengakomodasi perbedaan tersebut dipandang sebagai prasyarat mutlak untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang partisipatif dan inklusif.
Lebih dari sekadar wadah diskusi, forum ini juga bertujuan untuk meluruskan miskonsepsi tentang gender yang kerap kali dipandang sebagai sesuatu yang saling bertentangan dan kompetitif antara laki-laki dan perempuan.
FGD ini justru mengedepankan prinsip komplementaritas, di mana peran laki-laki dan perempuan saling melengkapi dalam proses pembangunan.
Terbukti, selama diskusi berlangsung, terungkap bahwa sementara laki-laki cenderung melihat pembangunan kawasan dari aspek praktis dan ekonomis, perempuan justru memberikan pemikiran mendalam seputar aspek suprastruktur yang menjadi fondasi penting bagi pembangunan itu sendiri.
![]() |
Salah satu peserta FGD perempuan saat persentasi hasil diskusi kelompoknya. (Foto: Rosyidin/MP). |
Lebih jauh lagi, FGD ini menjadi ruang afirmasi bagi perempuan untuk tidak hanya didengarkan suaranya, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengubah wajah pembangunan kawasan Sembalun melalui perbaikan aspek akses terhadap sumber daya, kontrol atas pengambilan keputusan, partisipasi aktif dalam setiap tahapan, dan distribusi manfaat pariwisata yang adil bagi mereka.
Meskipun regulasi telah mengamanatkan keterlibatan minimal 30% perempuan dalam setiap forum musyawarah maupun forum resmi, kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa pelibatan tersebut seringkali hanya bersifat formalitas (normatif prasyarat).
Suara dan aspirasi perempuan cenderung tenggelam di antara dominasi suara laki-laki dalam seluruh tahapan proses perencanaan.
Oleh karena itu, para peserta FGD menekankan pentingnya upaya advokasi yang konsisten untuk mengawal aspirasi perempuan kepada berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari pemerintah desa, kabupaten, provinsi, hingga kementerian terkait.
Dengan memastikan keterlibatan perempuan secara bermakna dan substansial, diharapkan dokumen RPKP-KPP Sembalun yang dihasilkan akan menjadi landasan transformasi kawasan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan, di mana setiap suara, tanpa terkecuali suara perempuan, turut mewarnai arah pembangunan masa depan Sembalun.