![]() |
Ilustrasi: Jenazah Juliana Marins, pendaki asal Brasil jatuh di Rinjani saat tiba di Rumah Sakit Bayangkara Mataram pada Rabu 25 Juni 2025. (Foto: Rosyidin/MP). |
Dilansir dari KOMPAS.com kedatangan jenazah Juliana menandai babak baru bagi keluarga yang kini mendesak autopsi ulang dan berencana menempuh jalur hukum hak asasi manusia internasional jika ditemukan dugaan kelalaian dalam penanganan insiden tersebut.
Jenazah Juliana diangkut menggunakan pesawat militer Angkatan Udara Brasil (FAB) dari Bandara Internasional Guarulhos, setelah sebelumnya menempuh perjalanan panjang dari Dubai dengan penerbangan Emirates.
Setibanya di Rio, jenazah langsung dibawa ke Institut Medis Hukum Afrânio Peixoto (IML) dengan pengawalan ketat dari pihak kepolisian dan pemadam kebakaran.
Meskipun autopsi pertama telah dilakukan di Bali pada Kamis (26/6/2025), keluarga Juliana merasa penyebab kematiannya belum sepenuhnya jelas.
"Sangat penting untuk melakukan analisis baru pada jenazah, guna mengklarifikasi penyebab kematian," ujar Taísa Bittencourt Leal Queiroz, pengacara keluarga, kepada media Brasil Globo.
Ia menambahkan, "Ini adalah cara untuk memastikan bahwa keluarga menerima penilaian dalam kerangka hukum Brasil," imbuhnya.
Hasil autopsi pertama menyatakan Juliana meninggal akibat sejumlah patah tulang dan luka dalam, diperkirakan bertahan hidup sekitar 20 menit setelah trauma fisik tanpa mengalami hipotermia.
Namun, keluarga merasa penjelasan tersebut belum memadai, terutama terkait dugaan keterlambatan penanganan dan penyelamatan oleh otoritas Indonesia.
Kantor Pembela Umum Federal Brasil (DPU) telah mengambil langkah serius dengan meminta Kepolisian Federal (PF) untuk membuka penyelidikan atas kasus kematian Juliana.
Jika penyelidikan ini menemukan dugaan kelalaian oleh otoritas Indonesia dalam memberikan bantuan, kasus ini berpotensi dibawa ke Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR), sebuah lembaga independen yang berbasis di Washington, DC.
Taísa Bittencourt Leal Queiroz menegaskan kesiapan keluarga untuk menempuh jalur hukum ini.
"Kami menunggu laporan dari pihak berwenang otomatis Indonesia, dan begitu laporan itu tiba, kami akan menentukan langkah selanjutnya," katanya.
"Pihak kami akan mendukung keluarga dalam langkah hukum yang mereka pilih, termasuk kemungkinan menggugat secara internasional jika ditemukan pelanggaran hak asasi manusia," tegasnya.
IACHR, sebagai badan otonom di bawah Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) yang didirikan pada tahun 1959, memiliki misi untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia di negara-negara anggota OAS, termasuk Brasil.
Meskipun IACHR tidak memiliki wewenang eksekusi seperti pengadilan, keputusannya kerap memberikan tekanan diplomatik dan opini publik yang besar.
Jika IACHR menerima pengaduan dan mengakui adanya pelanggaran, mereka dapat mengeluarkan rekomendasi kepada negara yang bersangkutan, yang meskipun tidak mengikat secara hukum, memiliki kekuatan moral dan politik yang signifikan.
Akankah penyelidikan di Brasil mengungkap fakta baru dan apakah kasus ini benar-benar akan berlanjut ke ranah hukum internasional? Perkembangan selanjutnya dari kasus tragis ini patut dinantikan.