Terlalu Reaktif untuk Kasus Chodang, "Level" Gubernur NTB Dinilai Sejajar dengan Aktivis Fihiruddin

MandalikaPost.com
Jumat, September 20, 2019 | 05.30 WIB
KILAS BALIK. Diskusi publik Kilas Balik Setahun Zul-Rohmi yang digelar M16 di De Lima Cafe, Mataram.

MATARAM - Program percepatan S1 untuk lulusan D3 Kesehatan di NTB ke Universitas Chodang, Korea Selatan, menjadi salah satu isu yang dibahas ketat dalam diskusi Kilas Balik setahun pemerintahan Zul-Rohmi, yang digelar lembaga kajian politik M16, Kamis Malam, (19/9) di De Lima Cafe, Mataram.

Selain dinilai sebagai program yang gagal. Kasus Chodang juga masih berpotensi untuk diusut kemungkinan terjadi penyimpangan, secara administrasi dan proses perizinan, sumber pendanaan, dan juga penyelesaian masalah pasca kegagalan program.

Dari sisi transparansi informasi, kasus Chodang pun terbilang unik. Pihak-pihak di Pemprov NTB yang bertanggungjawab dalam program ini, terkesan "tutup mulut", pun bagian Kehumasan yang punya tupoksi untuk hal tersebut.

Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah akhirnya menjelaskan kronologi dan posisi kasus, setelah Ombudsman NTB menyampaikan ke publik bahwa ada indikasi penyimpangan prosedur dalam program Chodang ini.


Dalam diskusi Kilas Balik Setahun Zul-Rohmi, Politisi Partai Nasdem, Datu Rahdin Jayawangsa menyampaikan, untuk mengukur keberhasilan pemerintahan di tahun pertama memang sangat sulit indikatornya.

Sebab, pemerintahan Zul-Rohmi baru berjalan setahun dari lima tahun untuk periode 2018 - 2023, masa kepemimpinan mereka.

"(Sehingga) semua serba tanggung, tidak ada yang tuntas 100 persen (programnya)," kata Rahdin.

Namun dari beberapa program unggulan yang dikritisi dalam diskusi, Rahdin melihat sikap Gubernur NTB terlalu reaktif menyikapi kritik masyarakat dan juga pemberitaan di media massa.

"Gubernur kita terlalu reaktif dalam (menanggapi) sebuah pemberitaan. Seolah beliau tidak punya kaki tangan, pembantu, kehumasan, dan para staf khusus yang bisa menangani pemberitaaan," katanya.

Rahdin mengatakan, seharusnya tidak semua program yang dikritisi harus dijelaskan langsung oleh Gubernur. Para Kepala OPD terkait bisa menjelaskan, bisa juga melalui Kehumasan, atau pun melalui para staf khusus yang memang digaji untuk bekerja membantu Gubernur dan Wagub.

Ia mencontohkan, dalam kasus Chodang. Gubernur seolah menampatkan diri sebagai pelaku pelaksana program, sekaligus kehumasan dan juru bicara untuk menjelaskan, ketika program ini diberitakan tidak terselenggara dengan baik.

"Kan aneh, Gubernur berdebat dengan Fihir (M Fihiruddin, aktivis). Ini "level" Fihir yang jadi naik, atau "level" Gubernur yang turun?. Sehingga "level" Gubernur, ya (terkesan) sejajar dengan Fihir," tukasnya.

Aktivis yang juga politisi Hanura, M Fihiruddin termasuk salah satu yang paling serius menyoroti kasus Chodang. Fihir juga memiliki sejumlah data tentang kronologis dan siapa saja yang terlibat dalam program yang akhirnya gagal itu.

Dalam diskusi, Datu Rahdin juga mengkritisi kinerja Zul-Rohmi yang dinilai kurang berpihak dan punya kepedulian pada bencana dan pasca bencana.

Politisi berasal dari Lombok Utara ini mengungkapkan, kondisi Lombok Utara sebagai daerah paling parah terdampak gempa bumi 2018, sampai saat ini masih belum benar-benar pulih.

"Situasi KLU yang paling parah, sampai saat ini. Klaim bahwa penangaan bencana NTB terbaik, itu (hanya) data. Tapi fakta lapangan (diduga) tak sesuai data," tegasnya.

Menurut dia, dari sekitar 75 ribu rumah yang rusak akibat gempa bumi 2018 di Lombok Utara, hingga kini baru 49 ribu lebih yang sudah terdata dan diperbaiki dalam rehabilitasi dan rekonstruksi.

"Lalu yang 25 ribu mau dibawa kemana?. Sisanya ini belum ada jaminan," katanya.


Soal Chodang, kritik juga disampaikan Ketua SUAKA, Bustomi Saefuri.
Ia menilai pemerintah terkesan lepas tangan dalam kasus Chodang ini.

"Ini bentuk tidak bertanggungjawabnya pemerintah, padahal yang dikirim ini manusia bukan produk, apalagi ternak," katanya.

Bustomi menekankan, harus ada penjelasan komprehensif soal kasus Chodang. Termasuk bagaimana prosesnya, apa saja masalah yang menyebabkan gagal, dan bagaimana tanggungjawab pemerintah sebagai pihak yang menyelenggarakan program.

"Semua harus clear. Apalagi sumber dananya dari dana CSR, dan juga hutang di perbankan,," tegas dia.


Menurut Bustomi, hasil investigasi Ombudsman NTB tentang dugaan mal-administrasi dalam progam ini, harus disikapi serius.

Sebab, tukasnya, kesalahan prosedur dan administrasi bisa jadi menjadi pintu masuk untuk penyimpangan-penyimpangan lainnya dalam program ini.

"(Jadi) jangan main-main dengan hasil investigasi Ombudsman itu," katanya.
Anggota DPRD NTB, H Ruslan Turmizi terkait kasus Chodang yang menggunakan dana CSR, memang sudah ada persetujuan DPRD NTB.

"Tetapi kita tidak dilampirkan rencana kerjasama, hanya LoI (Letter of Intent) saja yang dilampirkan," katanya.

Ruslan mengatakan, program beasiswa ini seharusnya untuk tahun 2020 tapi dilaksanakan 2019, sehingga dananya tidak dialokasikan dalam persediaan di APBD 2019.

Pemprov NTB kemudian mensiasati pembiayaan melalui pola pinjaman Bank NTB Syariah dan CSR.

"Masalahnya kita tidak tahu CSR-nya di mana. Persoalan kerjasama tidak ada perjanjian Mendagri juga. Saya khawatir ini Rp1,8 miliar uang sumbernya dari Bank NTB Syariah, bagaimana pola perikatan pinjaman dan dibebankan pada mahasiswa. Ini siapa yang tanggung jawab?," katanya.

Ruslam menegaskan, DPRD NTB sudah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB untuk mengatensi masalah ini.

Diskusi Kilas Balik Setahun Kepemimpinan Zul-Rohmi yang digagas Lembaga Kajian Politik M16, menghadirkan sejumlah narasumber seperti Anggota DPRD NTB, H Ruslan Turmuji, Mori Hanafi, Nauvar Farinduan.

Narasumber lainnya, Wahidjan dari Serikat Tani NTB, mantan anggota DPRD NTB Nurdin Ranggabarani.

Staf khusus Gubernur, Farid Rolomundu juga hadir mewakili Pemerintah Provinsi NTB.

Farid Tolomundu mengatakan, kritik dan sorotan terhadap kinerja pemerintahan Zul-Rohmi di tahun pertama ini akan menjadi saran dan masukan yang konstruktif bagi NTB ke depan.

"Waktu 1 tahun ini kan sebagai perkenalan. Saya dan semua teman yang hadir ini sama-sama belajar memahami dan mengenal Zul-Rohmi. Ini kritis tapi juga konstruktif. Biar kita bisa membangun tradisi demokrasi yang santun," katanya.

Menurut dia, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya selama setahun memimpin NTB, Zul-Rohmi punya sesuatu yang baru.

"Di zaman Dr Zul ini, semua orang bicara hampir tanpa rasa sungkan terhadap pemimpinnya. Gubernur ini orang yang sangat terbuka. Tentu semua kritik dan masukan konstruktif akan didengar," katanya.


Ia menambahkan, sosok Dr H Zulkieflimansyah merupakan politisi, akademisi, dan juga punya jiwa bisnis yang handal.

"Saya ada satu bayangan di tahun-tahun berikutnya Dr Zul memperlihatkan apa yang selama ini menjadi merk dagangnya. Beliau orang yang pandai cari duit. Bagaimana dia bisa cari duit Jakarta untuk menambah APBD NTB. Kita tahu rekam jejak beliau," katanya.

Farid menekankan, dalam pasangan pemimpin NTB, Zul-Rohmi ini, juga ada sosok Wagub yang tekun bekerja dan jauh dari hiruk pikuk.

"Ada Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah. Kita punya satu sosok perempuan yang jadi Wagub NTB, yang satu tahun ini bekerja tekun, beliau sangat detil mempelajari hal teknis. Ini perlu kita apresiasi karena Wagub kita bisa melengkapi dalam tanda kutip, kekurangan Gubernur," katanya. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Terlalu Reaktif untuk Kasus Chodang, "Level" Gubernur NTB Dinilai Sejajar dengan Aktivis Fihiruddin

Trending Now