Terpana Suasana "Ritual Mbuang Au" di Kayangan Lombok

MandalikaPost.com
Sabtu, Februari 29, 2020 | 14.47 WIB
Suasana acara Mbuang Au di Kayangan, Lombok Utara. (Foto: Mutia Sukma)


Penulis : Mutia Sukma

KETIKA saya datang, masyarakat Kayangan, Lombok Utara sedang mempersiapkan sebuah ritual adat, Mbuang Au, memperingati kelahiran anggota baru dalam masyarakat mereka.

Pada jalan masuk kecil menuju perkampungan, api dinyalakan untuk menanak nasi dalam dua buah kuali ukuran besar yang diletakkan di atas tanah.

Angsa-angsa dengan lehernya yang indah berlalu di antara kerumunan anak-anak yang menggelendot pada punggung ibunya atau berlari-lari di bawah sebuah pohon beringin tua yang sangat rindang. Tenda terpal didirikan. Ranting dan kayu bakar bertumpuk. Para gadis mengelap daun pisang.

Bapak-bapak menunggui air menggelegak dan di atas berugaq (gazebo), seorang kakek mengunyah sebongkah tembakau dan sirih pada mulutnya sibuk membungkus ketan.

Hari telah sore, sesaat setelah kedatangan saya adzan magrib akan terdengar. Bertamu ke sebuah tempat ketika hari akan petang begini adalah hal yang mendebarkan. Meskipun senang, namun kurang pantas.

Saya sudah mempersiapkan diri datang dengan cepat, namun mobil yang saya sewa dari Mataram macet cukup lama di perbatasan Mataram dengan Lombok Utara. Sebuah kayu yang diangkut di dalam sebuah truk melorot ke bawah karena medan jalan yang curam dan berkelok-kelok. Namun lelah perjalanan tersebut segera terlebur dengan sambutan hangat salah satu kepala dusun desa Kayangan ini, tepatnya di wilayah dasan Beleq, Lombok Utara, Bapak Japarti.

Dia bersarung hingga bawah lutut dan pada kepala bercokol sebuah sapuk --ikat kepala pria khas Lombok. Dengan tangannya yang gempal dia menjabat tangan saya.

Masyarakat di sini, baik laki-laki maupun perempuan menggunakan sarung songket dalam keseharianya. Pada bagian baju pada umumnya hanya kaos biasa. Perempuannya berambut panjang tergelung di belakang kepala. Sebagian dari mereka menaruh selendang yang dibentuk sedemikian rupa hingga menutupi sebagian rambutnya.

Laki-laki berkulit putih itu menyambut saya dengan terbuka. Dia mulai membuka pembicaraan.

"Masyarakat di sini sedang memperingati tradisi Mbuang Au," katanya. Dengan gesit dan seakan mendapat sebuah momen baik, saya seketika menjawab, "Menarik sekali, Pak. Bolehkah saya mengikuti acara tersebut?" tanya saya dengan sedikit cemas menimbang apakah pertanyaan itu pantas diucapkan.

"Maaf sekali, Mbak, lihat persiapannya saja ya. Karena untuk yang kali ini acara tertutup," katanya dengan tegas, namun tetap tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan kumisnya yang meregang karena tertarik oleh garis senyum.

Pada mulanya saya merasa kecewa sebab ingin sekali dapat merasakan peristiwa yang tidak pernah saya lihat. Tapi ketika telah sedikit tenang saya justru merasa bersyukur telah hadir di sini, karena mereka masih menjaga adatnya secara khusus tidak ingin "menjual" tradisinya kepada wisatawan secara serampangan.

Menikmati Suasana

Meskipun tidak dapat menikmati upacara adat tersebut, berada di Kayangan rasanya begitu luar biasa. Saya diizinkan berjalan-jalan menikmati suasana sambil memotret perkampungan yang indah juga mengambil gambar bersama seluruh masyarakatnya yang ramah. Udara sangat segar.

Wilayah menuju Kayangan penuh dengan panorama hamparan ladang jagung yang sangat luas. Seluruh batangnya menguning, dahannya bergoyang-goyang dan bila divisualkan sangat mirip animasi ladang gandum pada iklan sereal sarapan pagi anak. Pohonan rindang tumbuh sepanjang jalan. Buah mete yang ranum menjulur pada rantingnya yang rebah ke badan jalan.

Batu dan material yang akan digunakan untuk membangun rumah-rumah yang roboh akibat gempa Lombok 2018 ditumpuk sepanjang tepi jalan. Semakin ke atas, rumah tidak lagi dibuat dari tembok. Rumah tersebut dibangun dari bambu dan atap alang-alang, berdiri kokoh mencolok di antara bangunan tembok yang rubuh.

Saat terjadi gempa lalu, wilayah tersebut menjadi tempat evakuasi pengungsi. Ketika seluruh luruh tembok luluh lantak dengan tanah, rumah mereka tetap berdiri. Sepanjang jalan berderet tenda-tenda terpal. Ratusan orang meninggal akibat tertimpa bangunan di Lombok Utara. Tapi rumah Sasak di sini dengan dinding bambu dan atap alang-alang berdiri di antara semua bangunan yang rebah.

Arsitektur rumah di dasan Beleq mengandalkan dua buah unsur penting, yaitu dinding kayu dan atap alang-alang. Menurut Bapak Japarti, aktivitas pembangunan masa lalu memadukan unsur alam dan spiritual, hal tersebut masih dipertahankan hingga kini.

Unsur alam dimulai dari pemilihan bahan baku, kelayakan dan umur kayu pada masa yang pas untuk digunakan untuk mendirikan rumah. Sedangkan unsur spiritual dimulai dari pemilihan hari baik, doa, dan puasa pada setiap lapis unsur proses berdirinya rumah. Mengambil kayu pada hari baik, mendirikan tiang pada hari baik, pemasangan atap pada hari baik. Kedua unsur tersebutlah yang sering dilewatkan atau diringkas oleh masyarakat modern.

Pada gempa lalu rumah di sini betul-betul tidak merasakan dampaknya kecuali trauma psikologis karena teraduk-aduk oleh goncangan. Namun ketika gempa reda, ternyata rumah mereka baik-baik saja, berdiri dengan tegak. Konon di setiap ruas bangunan tersebut terdapat koin uang kepeng yang berfungsi menguatkan setiap siku bangunan. Sehingga ketika terjadi gempa, siku-siku bangunan tidak patah melainkan elastis mengikuti goyangan.

Nenek moyang masyarakat Sasak memahami bahwa seluruh unsur alam memiliki fungsi dalam kehidupan. Saya terpana pada hutan mereka yang terjaga, pada adat yang tidak ditinggalkan. Seluruh dunia mengetahui bahwa keindahan Rinjani dan Gili Trawangan menjadi magnet wisatawan untuk datang, namun mereka masih masyarakat yang murni dan hidup bersahaja dengan tradisinya yang selalu diakrabi tanpa terpengaruh kedatangan para wisatawan yang mengunjungi objek wisata di sekitar wilayah mereka.

Kebersihan dan keramahan masyarakat dasan Beleq adalah nilai jual sekaligus tantangan wisata di sini. Masyarakat menjaga adat, namun berkepribadian terbuka. Kampung sangat bersih dan mempertahankan bangunan lama. Sejarah lisan diturunkan dari generasi ke generasi. Semua itu destinasi yang begitu luar biasa bagi saya.

Waktunya Makan

Seorang laki-laki berlari-lari kecil memanggil anak-anak untuk berkumpul dan menikmati makanan terlebih dulu. "Sudah waktunya makan," katanya sambil mempersilakan saya untuk mengikuti arah anak-anak yang berlarian.

Dalam tampah-tampah besar nasi dengan ukuran banyak disajikan bersama bebalung sup kambing dengan santan kelapa khas Lombok berjejer memanjang.

Matahari mulai turun. Anak-anak menyerbu makanan mereka, mencuci tangan pada mangkok berisi air bersih yang tersedia di sekitaran tampah makanan. Tanpa ragu mereka meraup makanan langsung dengan tangan.

Memakan hidangan kambing adalah bagian dari upacara Mbuang Au atau akikah bagi anak yang baru saja dilahirkan. Seorang bayi baru lahir akan diakikah sekaligus dibuatkan sebuah kain yang disebut dengan umbak kombang yang telah disematkan koin kepeng bolong. Kain tersebut terbuat dari bonga, kapas yang tumbuh di Gumantar.

Dengan berakikah dan dibuatkan kain umbak kombang diharapkan bayi tersebut terlindungi baik secara syariat ataupun adat.

Anak-anak terus menyarukkan tangannya pada nampan yang penuh dengan nasi basah dari kuah bebalung. Sambil tertawa lepas, makanan terus dikunyah dan gigi-gigi mereka menarik daging dari tulang kambing muda. Saya harus segera berpamitan kembali ke Mataram. (*)

Mutia Sukma.

#Mutia Sukma menulis puisi, esai, dan prosa. Buku puisi pertamanya berjudul Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia. Selain menulis juga meminati aktivitas perjalan.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Terpana Suasana "Ritual Mbuang Au" di Kayangan Lombok

Trending Now