Zero Waste Dinilai Tak Optimal, DPRD Sarankan NTB Belajar ke Bali

MandalikaPost.com
Kamis, Februari 18, 2021 | 22.51 WIB
Ir I Made Slamet.

MATARAM - Anggota Komisi II DPRD Provinsi NTB, Ir Made Slamet menilai program Zero Waste, masih sebatas khayalan semata. Pasalnya, implikasi dari keberadaan program unggulan Gubernur Zulkieflimansyah dan Wagub Sitti Rohmi Djalilah itu, belum dirasakan dampaknya oleh masyarakat. 


"Bagaimana sampah bisa nol alias enggak ada, sampah di rumah saya saja di Mataram sudah dua minggu enggak terambil oleh petugasnya," ujarnya pada wartawan, Kamis (18/2) di Mataram. 


Menurut Made, hampir seluruh masyarakat di wilayah Kota Mataram sebagai daerah pemilihannya mengeluhkan masalah sampah yang tidak terangkut. Apalagi, keberadaan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) juga tidak ada. 


Oleh karena itu, politisi PDIP itu mengatensi gagasan Pemprov yang menginisiasi adanya program Zero Waste sebagai solusi mengatasi persoalan sampah. 


Namun sayangnya, program itu tidak disambut dengan baik oleh pemda kabupaten/kota di NTB. Padahal, dana APBD NTB untuk membiayai program ini sangat besar. Yakni, Rp 31,40 miliar pada tahun 2020 lalu.


 "Jadi, masalah Zero Waste yang utama itu adalah soal koordinasi yang enggak nyambung antara Pemprov dan para bupati/wali kota yang memiliki rakyat dan kewilayahannya. Kalau nyambung dan jelas pembagian perannya, maka enggak akan kayak sekarang ini," tegas Made. 


Ia meminta pola yang dilakukan Pemprov Bali dengan menggandeng pemda kabupaten/kota guna mengatasi limbah plastik, layak ditiru. Sebab, meski provinsi NTB memiliki Pergub yang mengatur soal sampah melalui program Zero Waste, namun di lapangan justru, tidak berjalan sesuai harapan. 


"Semangat memilah sampah itu enggak penting jika tupoksi utama provinsi sebagai koordinator masalah sampah enggak dilakukan. Harusnya, mulai tegaslah, kayak di Bali enggak boleh lagi pasar modern menyiapkan tas plastik. Nah, ini solusi sebenarnya sebagai contoh yang dibutuhkan sebagai koordinator, sehingga kabupaten/kota juga akan ikut melaksanakan ketegasannya melarang penggunaan tas plastik," jelas Made. 


Tanpa membela Gubernur dan Wagub. Ia menuturkan, sudah seharusnya kepala daerah melakukan evaluasi pada jajaran OPD yang mengelola sampah itu. 


Sebab, letak tidak jalannya program bagus yang di inisiasi seorang kepala daerah adalah tidak maksimalknya OPD terkait dalam menterjemahkan masksud dari apa yang dikehendaki oleh pimpinannya. 


"Saya kira Zero Waste itu bagus gagasan dan semangatnya. Tapi memang OPD pelaksananya yang enggak maksimal. Akibatnya, rencana Pak Gubernur dan bu Wagub menjadi enggak jalan. Jadi, kalau saya usulkan agar program ini jalan, maka Kepala OPD, yakni Dinas LHK harus dievaluasi dari Kepala Dinas hingga Kabid serta staf yang melaksanakan programnya," ungkap Made.


Terkait evaluasi pada jajaran OPD LHK NTB. Made menegaskan, hal itu harus dilakukan, lantaran kepala OPD yang bersangkutan sudah terlalu lama memegang jabatan itu. Akibatnya, ada rasa kebosanan terhadap jabatannya yang disandangnya tersebut. 


Padahal, lanjut dia, program Zero Waste ini tidak bisa hanya mengandalkan sebuah aplikasi bernama Lestari. Namun yang harus diperbanyak adalah turun melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan pemda kabupaten/kota hingga pemerintahan paling bawah, yakni Lurah dan Kepala Desa.


"Harusnya, Kepala Dinas LHK paham. Karena Zero Waste ini adalah program unggulan, maka enggak boleh mereka bersantai-santai di ruangan. Apalagi, dana APBD juga cukup besar tersedot untuk membiayainya keberlangsungan programnya selama ini," tandas Made Slamet. 


Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Madani Mukarom, mengatakan program zero waste melibatkan pemerintah daerah. Bahkan dia menilai program tersebut tercapai.


“Tanpa Kabupaten/Kota, tidak mungkin capaian zero waste yang berwujud hari ini bisa dicapai. Kami ucapkan terima kasih kepada bupati/wali kota, kepala desa, dan seluruh komunitas warga atas kolaborasinya,” ucap Madani.


Tidak hanya pemerintah daerah, kata Madani Pemprov NTB secara paralel menggandeng seluruh komunitas lingkungan, bahkan difasilitasi Pemda kabupaten/kota berinteraksi dengan desa/kelurahan.


Keterbatasan kewenangan dan anggaran juga disadari Pemprov, sehingga dari sisi proporsi anggaran, 70 persen – 87 persen dari alokasi anggaran, diperuntukkan untuk Tempat Pemrosesan Akhir Regional (TPAR). 


Madani mengatakan dari sisi regulasi persampahan, ada dua model kewajiban pengelolaan sampah, yakni pengurangan sampah dan penanganan sampah. 


Target dari kedua jenis pengelolaan sampah ini sudah ditetapkan secara nasional, melalui Perpres 97/2019 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (SRT) dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT). 


Provinsi dan kabupaten/kota yang diwajibkan menetapkan Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah) SRT dan SSRT juga sudah dilakukan, sisa satu kabupaten saja yang belum memiliki Jakstrada, yakni Dompu.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Zero Waste Dinilai Tak Optimal, DPRD Sarankan NTB Belajar ke Bali

Trending Now