Umbu Landu Paranggi. |
Umbu Landu Paranggi, penyair yang disebut sebagai Presiden Malioboro, wafat Selasa malam, 6 April 2021 di Bali, dalam usia 77 tahun.
Umbu adalah guru bagi banyak penulis dan sastrawan Indonesia, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi, Landung Simatupang, Agus Dermawan T, Ahmadun Yosi Herfanda, Yudhistira ANM Massardi, dan banyak lagi.
Umbu lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943. Sejak remaja, Umbu hijrah ke Yogyakarta. Di kota inilah Umbu lahir untuk kali kedua. “Pokoknya saya jatuh hati rata dengan tanah pada Jogja,” kata Umbu dalam wawancara di Balairung, No. 30 Tahun 1999.
Umbu sempat menempuh pendidikan tinggi di jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Gadjah Mada dan jurusan hukum Universitas Janabadra di Yogyakarta. Tapi ketertarikan Umbu pada sastra jauh lebih kuat daripada pilihan studinya.
Penyair Jalanan
Nama Umbu mulai dikenal di kalangan sastrawan setelah dia menulis di rubrik “Fajar Menyingsing” majalah Mimbar Indonesia pada 1962. Di sini dia berada bersama sederet nama beken dalam dunia kepenulisan dan sastra yang menjadi awak redaksinya. Antara lain Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, dan A.B. Loebis.
Kemudian Umbu mengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” harian Pelopor Jogja selama 1969–1975. Selama kurun ini pula, dia mendirikan dan aktif berkegiatan di Persada Studi Klub (PSK), kelompok kajian dan menulis sastra, bersama sastrawan seperti Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Ipan Sugiyanto Sugito, Soeparno S. Adhy, Iman Budhi Santosa, dan Mugiyono Gito Warsono.
“Sebenarnya, Persada Studi Klub bukanlah kelompok akademisi atau studi sastra formal, karena ia tidak punya laboratorium, kantor, atau sekretariat tetap,” tulis Korrie Layun Rampan dalam “Bidan Dua Angkatan Sastra Indonesia Modern” termuat di Horison No. 7, 2006.
Lapak PSK menumpang di kantor harian Pelopor Jogja di Jalan Malioboro No. 175. Di sinilah peran Umbu sebagai mentor dan guru para penyair muda kian menonjol. Dia biasa mengajak teman-temannya berjalan kaki belasan kilometer untuk memperdalam kesan mereka tentang sesuatu. Pernah dia meminta seorang penyair muda untuk merefleksikan kesannya bertemu gelandangan di emperan toko malam-malam.
Emha Ainun Najib mengatakan jalan versi Umbu berbeda sekali dengan makna jalan-jalan. “Yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal,” tulis Emha dalam “Presiden Malioboro, Untuk Umbu”, Kompas, 16 Desember 2012.
Banyak penyair tertempa kualitas kepenyairannya oleh Umbu. Tak heran jika banyak yang ingin berguru ke Umbu. Tapi saat anak-anak muda calon penyair membutuhkannya, Umbu justru “menghilang” secara misterius. Barulah diketahui Umbu ternyata di Bali. Dia mengasuh rubrik “Pos Remaja” dan “Pos Budaya” di harian Bali Post.
Di Bali, Umbu mengulangi apa yang dia lakukan di Yogyakarta: menggali talenta muda. “Yang menarik, untuk lebih membuat calon-calon penyair makin greget, Umbu menggunakan istilah-istilah dalam dunia sepak bola. Misalnya digunakan istilah kompetisi, kompetisi promosi, solo run, dan penjaga gawang,” catat Putu Fajar Arcana dalam “Jalan Sunyi Umbu Landu Paranggi”, Kompas, 15 Januari 1996.
Banyak kawan dan muridnya menyebut Umbu sebagai sosok yang menempuh jalan sunyi. “Ia termasuk penyair yang paling enggan bertemu dengan sesama penyair dan wartawan,” terang Putu. Bukan karena dia merasa besar sebagai guru penyair, melainkan supaya orang tahu bahwa Umbu sama sekali tidak penting.
Emha Ainun Najib dalam Kenduri Cinta (KC), sebuah acara kebudayaan lintas umat di Cikini, Jakarta, seringkali mengulang kisah-kisah kebersahajaan dan kemisteriusan Umbu di hadapan ribuan jamaah Maiyah, sebutan untuk peserta Kenduri Cinta.
Menurut Emha, Umbu memiliki darah raja Sumba. Tapi Umbu memilih menggelandang di Malioboro. Emha mengibaratkan Umbu sebagai sosok Buddha yang meninggalkan istana dan kepemilikan duniawi.
“Umbu adalah anak raja yang meninggalkan semua itu, menjadi gelandangan di Jogja kemudian kami lantik sebagai guru terbaik,” kata Emha dalam acara Kenduri Cinta.
Umbu berupaya menghindari kemashyuran. Puisi-puisinya hanya beredar terbatas di kalangan teman-temannya. Ketika puisi itu dikirimkan kawannya ke majalah Horison, Umbu bergerak diam-diam ke kantor Horison untuk mengambil puisi itu.
Kali lain, Emha menuturkan perilaku Umbu pada tengah malam. Umbu mengajaknya jalan kaki sejauh 20 kilometer. Lalu mereka berhenti di sebuah warung kecil untuk minum teh manis panas dan merokok. Umbu diam saja sampai berjam-jam hingga menjelang subuh.
Tepat pukul empat subuh, bus AKAP Malang-Yogyakarta lewat di depan Umbu dan Emha. Umbu menyuruh Emha melihat bus itu.
"Busnya tidak penting, tapi kota Malang itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya,” kata Emha.
Umbu sedang jatuh cinta pada seorang gadis dari Malang. Emha mengira gadis itu akan turun dari bus dan mendatangi Umbu. Tapi dia salah. Gadis itu tak ada di bus. Umbu hanya ingin menikmati nuansa bus Malang-Yogyakarta itu.
Mendengar suara busnya saja sudah cukup bagi Umbu untuk menikmati kekhusyukan cinta. Setelah lewat subuh, Umbu mengajak Emha pulang.
Anti Korupsi
Selain dikenal sebagai mentor dan guru penyair, Umbu juga seorang aktivis sosial. Dia terlibat dalam manifesto antikorupsi yang dikeluarkan oleh Front Anti Korupsi (FAK) Yogyakarta pada 26 Juli 1970. Manifesto itu keluar untuk menyikapi maraknya korupsi para pejabat negara.
Manifesto antikorupsi berisi lima pernyataan. Mereka mengawalinya dengan pernyataan bahwa keberhasilan pembangunan hanya dapat tercapai jika penyelewengan dan korupsi dibasmi. Karena itu, mereka meminta orang-orang di birokrasi untuk membersihkan diri.
Lalu mereka beralih pesan ke generasi seusianya. Mereka meminta generasi seusianya mempersiapkan kedirian yang kuat. “Tidak larut dalam gelombang penyelewengan dan korupsi yang telah mencekam masa kini,” tulis manifesto antikorupsi dalam Kompas, 29 Juli 1970.
Di bagian akhir manifesto, mereka menolak tegas warisan sebuah negeri yang telah dirusak oleh generasi sebelumnya. Entah melalui tindak korupsi ataupun lewat bentuk penyelewengan lain.
Setelah itu, Umbu juga menggelar malam tirakatan di Taman Makam Pahlawan Semaki Umbulharjo, Yogyakarta, sebagai simbolisasi melawan korupsi. Tapi gerakan itu tak digubris. Umbu pun pergi ke Jakarta bersama kawan-kawannya untuk menemui Presiden Soeharto.
Dalam pertemuan di Istana Merdeka tersebut, anggota FAK mengenakan blangkon. Soeharto tertarik dengan penampilan mereka.
“Kenapa saudara pakai blangkon?” tanya Soeharto. Seorang anggota menjawab bahwa mereka mengenakan blangkon sebagai penegas identitas ke-Yogya-an mereka.
“Kalau memakai itu harus sopan, yaitu pakai kemeja dan sarungnya,” balas Soeharto lagi. Kali ini Umbu Landu Paranggi menyahut sembari menyindir. “Sekarang ini perlu kerja cepat, Pak, jadi tak sempat pakai sarung.”
Seluruh peserta pertemuan tertawa. Soeharto nyeletuk, “Wah, ini namanya Revolusi Kebudayaan ya?” demikian keterangan Mahasiswa Indonesia edisi Minggu ketiga, Agustus 1970, seputar awal pertemuan tersebut. Tapi pertemuan itu mengecewakan Umbu. Sebab, pemerintah terkesan menyepelekan anak muda dan mahasiswa.
Umbu kemudian pulang ke Yogyakarta dan mengisi hari-harinya dengan memupuk bakat calon penyair. Dia sempat membuat puisi tentang kepulangannya dari kota Yogyakarta ke desa.
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Umbu akhirnya pulang ke huma sejatinya. Selamat jalan.