.jpg)
MANDALIKAPOST.COM - 25 Tahun referomasi, apa yang sesungguhnya tersisia dari
peristiwa itu ? Pertanyaan tersebut setidaknya mengantarkan kita untuk melihat demokrasi
belakangan ini mulai dari UU Cipta Kerja sampai dengan KUHP Baru, atau paling
tidak merenungkan kembali semua narasi tentang reformasi, menjaga setiap
amanatnya atau melampuinya. Pemilu 2024, kontestasi politik dan ragam
kepentingan politik, jadi pertaruhan berbagai klik untuk memastikan status
kekuasaanya, sebab kekuasaan hanya menyediakan dua bentuk diskursus yakni,
dipertahankan atau ditumbangkan.
Setidaknya ada pola yang harus dipelajari dari tahun –
tahun politik sebelumnya, yakni isu politik. Isu politik yang tampak biasa yang
tidak dibawakan pada tahun politik sukar mendapat kenaikan status politik,
namun isu yang dibawakan pada tahun politik dapat menjadi pesan transaksi
kantong suara. Secara keseluruhan, situasinya semakin kompleks.
Tampaknya fenomena demokrasi ini semakin runcing dengan
masuknya wacana revisi UU TNI yang sekali lagi membagi meja media dan meja
diskursus disetiap tempat, tentu masih melekat dalam ingatan kolektif rakyat
Indonesia tentang dwifungsi ABRI. Dengan adanya wacana tersebut, menambah
variabel baru untuk menilai politik 2024, patut dicermati setiap partai akan
melakukan pertarungan politik baik secara terbuka maupun tertutup dan meraih
dukungan dari seluruh kalangan atau komunitas untuk memenagkan status kekuasaannya.
I.
Impunitas Militer dan
supremasi sipil
Wacana revisi Undang – Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia membangkitkan kembali
diskursus tentang impunitas militer dan supremasi sipil. Salah satu agenda
reformasi adalah reformasi di bidang militer, mengembalikan kedudukan rakyat
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sebelum lahirnya wacana tentang
revisi UU TNI No.34/2004, wacana untuk
penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) yang berada di setiap provinsi.
Adapun poin perubahan dalam draf usulan revisi UU TNI No.34/2004 yang dinilai
penting untuk didiskusikan kembali ialah Anggaran Militer, selama
ini anggaran militer berada di bawah Kementrian Pertahanan yang diusulkan untuk
diubah agar penganggaran militer tidak lagi dibawah Kementiran Pertahanan.
Prajurit aktif dapat
menduduki 18 Kementrian, usulan
ini menambah 8 lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif yang dalam UU
TNI No. 34/2004 Pasal 47 mengatur prajurit aktif dapat menjabat di 10
kementiran. Perluasan kewenagan dan Perluasan Operasi Militer selain
Perang, poin dalam perluasan kewenangan, mengubah dan
menghilangkan frasa Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi “pengerahan dan kekuatan
militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden” sehingga dalam ususlannya tidak
ada frasa tersebut dan menambah kewenagan TNI terkait pengamanan yang dimiliki
oleh Kepolisian. Operasi militer bukan perang, usulan ini menambah 5
poin yang sebelumnya dalam pasal
7 ayat (2) hanya menyebutkan 14 poin sekarang menjadi 19 poin. Peradilan militer, poin perubahan ini
adalah mengubah frasa pasal 65 ayat 2 yang berbunyi “Prajurit
tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana
militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum
pidana umum yang diatur dengan undang-undang”
menjadi “prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran
pidana militer dan hukum pidana umum”.
Secara normatif, wacana
penambahan kodam dan revisi UU TNI No. 34/2004 bertentangan dengan tap mpr VII tahun 2000 tentang Peran
TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. usulan tersebut juga menghilangkan garis komando yang selama
ini menjadi asas dalam hukum militer serta menghilangkan semangat reformasi di
bidang militer. Wacana tersebut mengingatkan kembali pada peristiwa pelanggaran
HAM masa lalu yang sampai detik ini masih menjadi tabir dan dugaan kuat
pelakunya berada dilingkaran pemerintahan saat ini.
Supremasi sipil, mengkhendaki
bahwa kekuasan militer harus diatur oleh masyarakat sipil sehingga komunitas
militer yang memiliki seluruh instrumen kuasa dapat dibatasi dan dikontrol,
tentunya dalam hal internal negara. Sebab, dalam sistem pemerintahan yang
beradab rakyat adalah satu – satunya khendak dan pemegang kekuasaan tertinggi.
II.
Politik militer
Momen tahun politik 2024, jadi
momen penting untuk dilihat lebih jauh, khususnya relasi antara wacana revisi
UU TNI No. 34/2004 kaitanya dengan politik legislasi, dan supremasi sipil.
Revisi UU TNI No. 34/2004 dari banyak pihak menilai berpotensi mengembalikan
dwifungsi Angkata Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan mengihlangkan
capaian reformasi selama 25 tahun ini. Wacana tersebut meski masih berupa
wacana patut diduga sebagai pesan politik tertentu bagi pihak politik lain yang
ikut dalam kontetasi politik 2024.
Hubungan antra elit militer dan
elit sipil dapat ditemukan pada masa Orde Baru melalui dwifungsi ABRI-nya, hal
ini menjadi refleksi untuk menemukan apakah supremasi sipil masih ada sampai
detik ini. Hubungan kedua elit tersebut harus dibongkar sedemikian rupa, guna
menemukan selubung kepentingan yang tidak terlihat oleh pubik.
Politik legislasi pembentukan
hukum belakangan ini yang mendapat sorotan dan gelombang protes dari berbagai
elemen masyarakat sipil menjadi penanda politik legislasi pembentuk hukum yang
bermasalah. Setelah mencuatnya pernyataan “lobi ketum partai” dari gedung
parlemen membuat keyakinan publik atas sejumlah produk hukum yang dibuat
cenderung transaksional.
Situasi semacam ini, menjadi
peluang dimeja tawa menawar antara elit militer dan elite sipil untuk
memastikan dukungan suara dan kemenagan politik 2024. Setelah reformasi, hampir
tidak terdengar lagi politik militer ikut berpartisipasi dalam politik praktis,
namun secara keseluruhan sikap skeptis atas situasi yang pernah menjadi bagaian
dari sejarah demokrasi di Indonesia harus ditelaah kembali, bukankah politik
sesungguhnya selalu berada di balik layar dalam ruang yang paling kedap udara. Tidak ada jawaban yang dapat
ditemukan dengan mudah kecuali merubah realitas yang ada.