Cerita Wik-Wik: Empun, ART Pemuas Hasrat untuk Semua (PART 3)

MandalikaPost.com
Minggu, Oktober 29, 2023 | 22.57 WIB Last Updated 2024-03-15T08:00:47Z

Ilustrasi.

KISAH HIDUP - Kang Darjo sepertinya sangat berat berpisah denganku. Tapi aku harus realistis, harus mulai melangkah untuk bisa hidup mandiri. Kubulatkan hatiku untuk cari kerja di Kota.


BACA JUGA : Empun, ART Pemuas Hasrat untuk Semua (PART 2)


Sudah hampir tiga bulan ini suasana di rumah paman Karso semakin ramai dengan hadirnya Putra, anak pertama Kak Sanah dan Kang Darjo. Kak Sanah pun sudah pulih.


Waktu pertama pulang dari RS, memang aku yang mengurusi dan memandikan Putra, karena kak Sanah belum pulih benar pasca operasi cesarnya. Tapi sekarang dia bisa sendiri.


Saat itu aku mulai berpikir untuk mencoba mencari pekerjaan saja di Kota. Sekaligus agar hubungan terlarangku dengan Kang Darjo cukup sampai disitu.





Aku tak mungkin terus melayani keinginan Kang Darjo tanpa status yang jelas. Sementara untuk memintanya menikahiku, jelas tidak mungkin. Aku pasti menyakiti hati kak Sanah.


Apalagi seminggu yang lalu, kak Sanah hampir saja memergoki perbuatanku dan kang Darjo. Untung saja, kak Sanah tidak menaruh curiga saat itu, dan semua aman jadinya.


Ceritanya malam itu, Putra sedang rewel karena habis imunisasi. Sementara kak Sanah sudah kecapekan begadang menjaganya dua malam. Bik Narsih dan paman Karso pergi.


Paman dan bibi ku harus menghadiri hajatan di desa tetangga. Jadi Putra dititipkan kepadaku. Seperti biasa Putra juga lengket denganku yang mengurusnya sejak lahir.


"Sudah tidur Putra mpun?," kak Sanah bertanya pelan di pintu kamarku saat aku sedang ngelonin Putra di kasurku.


"Iya sudah kak, udah anteng juga," jawabku.


Kutanya kak Sanah, apa mau dipindah?, tapi katanya biar saja Putra tidur sama aku.


"Nanti saja, kalau dia bangun pingin net3k, baru tak ambilnya mpun," kata kak Sanah, lalu ke kamarnya.


Waktu itu baru jam 9 malam, kak Sanah bilang dia lelah dan ngantuk banget jadi pingin tidur duluan. Kang Darjo juga sedang pergi, jadi minta tolong bukain pintu kalo dia pulang.


Karena malam itu agak dingin sehabis hujan, aku juga ngantuk saat ngelonin Putra, dan sempat terlelap sebentar. Pas bangun nggak taunya sudah ada Kang Darjo dalam kamarku.


"Eh, kang?," kataku. Kang Darjo memberi isyarat dengan menutup jarinya ke mulut, agar aku diam. "Aku kang3n mpun, mumpung mbak Sanah mu sudah tidur," bisiknya.






Dia langsung berbaring di belakangku, karena aku menghadap tembok memeluk Putra saat itu. "Kang, ih. Jangan nekad, nanti kak Sanah bangun loh," kataku pelan.


Aku paham kang Darjo sangat kangen denganku. Sejak kak Sanah pulang dari RS tiga bulan yang lalu, kami memang nggak pernah melakukan senam bersama lagi.


Sebab kondisinya sudah tidak memungkinkan. Paman dan bibi sudah ada di rumah juga, beda dengan saat kak Sanah masih melahirkan di rumah sakit dulu.


"Kamu nggak k4ng3n mpun? Ayolah kita cuma punya waktu sedikit," bisik Kang Darjo yang mulai memeluk aku dari belakang. Aku menjaga Putra agar nggak kebangun.


Aku nggak bisa menjawab Kang Darjo. Sebenarnya sejak kak Sanah pulang, aku berjanji untuk bisa menolak Kang Darjo, dan tak ingin melakukannya lagi dengan kakak iparku itu.


Tapi selama tiga bulan itu, aku juga merasa butuh dan ingin mendapatkan kenyamanan dari Kang Darjo. Aku merasa mulai sayang dengannya dan ingin bersamanya.


"Ya sudah kalau diem, berarti kamu juga mau.Kamu diem saja ya mpun," bisik Kang Darjo. Aku mulai berdebar, pakeyand aster baw4hku diangkatnya, Kang Darjo mulai mencari sesuatu.


"Enghh, kang. Jangan nekad ih," aku menolak karena takut kak Sanah bangun. Tapi aku juga nggak bisa banyak bergerak, takut kalau si Putra bangun nantinya.


Kang Darso tak berbicara lagi di belakangku. Yang terasa dia sudah menyusup di bungkus melonku yang indah dan mulai memanjakannya. Membuat aku terbuai.


Tongkat ajaib kang Darso juga sudah berhasil menemukan gudukan K3r4ng 3mpuk itu. Meski dari belakang, panjangnya tongkat tetap bisa mencapainya.


"Oh, kang3n banget aku mpun, kita mulai senamnya ya?," dia berbisik seolah meminta persetujuanku. Tongkat ajaib Kang Darjo mulai mnyusup perlahan ke dlm k3r4ng 3mpuk itu.


"Enghh.. kanghh," aku tak menjawab atau mengiyakan ajakan senam malam dari Kang Darjo.Tapi bahasa tubuhku sudah dipahaminya. Kang Darjo pun tancap gas full.


Pikiranku tak menyangka kalau malam ini bisa kembali bersama Kang Darjo. Disatu sisi aku merasa bersalah sama kak Sanah, takut ketahuan juga, tapi disisi lain?.





Kang Darjo memang pandai membuai anganku. Gerakan senamnya terukur membuat tongkat ajaib itu memenuhi ruang-ruang kosong dalam jiwaku. Kami pun makin melambung.


Entah karena waktu yang singkat, atau karena keinginan yang terlalu tinggi untuk senam bersamaku, kang Darjo seperti terburu-buru membawaku untuk mencapai finishnya.


Padahal aku masih ingin menikmati indahnya perjalanan itu. "Kangh.. enghh, jangan smp3 dulu. Empun p3ngen mendaki juga," bisikku. Kang Darjo tambah senang.


Kuraih tebing-tebing itu dan kini aku mulai mendaki. Aku pun semakin melambung tinggi dengan tongkat ajaib Kang Darjo yang menumpu dari b4wah. Senamku juga teratur.


Kang Darjo seperti tak menyangka mendapat perlawanan sengit dariku. Dia pun menggunakan teknik dan jurus ampuhnya untuk mengimbangiku, meski nampak kewalahan.


"Oh, empun. Aku duluan ya," bisik lirih Kang Darjo mencapai garis finishnya lebih dulu. Tongkat terbenam di k3rang 3mpuk, kugunakan sebaik mungkin untuk menyusulnya.


"Waw.. kangh, empun juga samphe puncak. Enghhh, indah banget Kang," aku bergetar saat mencapai garis finish yang maksimal. Suara Putra yang menangis mengejutkan kami.


"Lho sudah bangun sayang? sisi sama mama ya, mimik cucu dulu hayo," kak Sanah masuk ke kamarku untuk mengambil bayinya. Mau disusuin di kamarnya sendiri.


"Iya kak Sanah, mungkin sudah haus Putra," kataku menyerahkan Putra padanya. Huft, untung saja, sebelum kak Sanah terbangun tadi, Kang Darjo sudah keluar dari kamarku.


Paginya seperti biasa aku memasak dan menyiapkan sarapan. Saat makan itu, paman Karso memberitahuku kalau ada lowongan kerja di Kota. Beliau dapat info pas hajatan kemarin.


Katanya anaknya pak Halim yang kerja di Kota sedang butuh asissten rumah tangga. "Ya anggap cari pengalaman mpun. Sekalian jadi batu loncatan, sapa tau di Kota dapat kerja,".


Bi Narsih juga mendukung, "Iya mpun, siapa tahu juga kamu dapet jodoh lagi orang Kota. Biar si Rahman tau, biar gendut kamu ini cantik dan menarik, banyak yang suka,".


Kang Darjo sepertinya sangat berat berpisah denganku. Tapi aku harus realistis, harus mulai melangkah untuk bisa hidup mandiri. Kubulatkan hatiku untuk cari kerja di Kota.


Sambil makan dia menatapku, seolah matanya berbicara,"Kalau kamu pergi, aku senamnya sama siapa mpun?,". Tapi tidak, aku harus mandiri, aku ingin membuktikannya.




Agar mertua dan mantan suamiku mas Rahman paham, seperti yang dikatakan Bi Narsihku. Biar aku gendut, tapi aku cantik, menarik, enak dipandang, mbohae, dan t3mbem.


"Iya paman, bik. Empun mau kerja di Kota. Nggak apa-apa jadi pembantu juga sudah lumayan," kataku saat itu. Paman dan bibi pun gembira dengan keputusanku itu.


Hanya dengan cara itu juga aku bisa mengakhiri hubungan terlarangku dengan Kang Darjo. Aku nggak mungkin terus meladeni ajakan senamnya tanpa status yang jelas.

 

Disisi lain, aku pun nggak mungkin memintanya untu menikahiku. Karena hal itu bisa menyakiti hati kak Sanah sekaligus keluarganya yang selama ini sangat baik padaku.


Malam yang indah dengan waktu yang singkat itu pun menjadi salam perpisahanku dengan Kang Darjo. Lelaki yang hampir saja membawaku ke ranahp ercintaan yang salah. (BERSAMBUNG PART 4)



RUBRIK Kisah Hidup menuangkan kisah kehidupan yang diangkat dari cerita kisah nyata dan dikemas ulang dalam bentuk cerita romantis, cerita dewasa.


Kisah yang diangkat diambil dari Kisah Nyata, dan juga fiksi rekaan semata. Kesamaan nama, tempat, dan alur cerita bukanlah sebuah kesengajaan.


Simak Kisah Hidup lainnya di channel YouTube PUTRIE MANDALIKA.


https://www.youtube.com/@putriemandalika1277


Semoga setiap cerita bisa diambil hikmah dan manfaatnya. 



Punya cerita dan ingin berbagi? Kirim ke email : redaksimandalikapost@gmail.com






Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Wik-Wik: Empun, ART Pemuas Hasrat untuk Semua (PART 3)

Trending Now