Cerita Wik-Wik: Empun, ART Pemuas Hasrat untuk Semua (PART 5)

MandalikaPost.com
Sabtu, November 11, 2023 | 22.27 WIB Last Updated 2024-06-01T04:06:10Z

Ilustrasi/Kisah Hidup.

KISAH HIDUP -  Waktu tak terasa berlalu,  sudah bulan kelima aku bekerja di rumah pak Halim dan bu Intan. Semua kujalani dengan bersyukur dan bahagia, karena mereka sangat baik padaku sejauh ini.


Aku juga punya kesibukan lain, memasak untuk cathering makan siang yang dibutuhkan di butik bu Intan. Tiap siang pak Ratno, sopir pak Halim yang mengambil catheringnya. 


BACA JUGA : Empun, ART Pemuas Hasrat Untuk Semua (PART 4)


Kemampuanku memasak jadi cukup baik setelah aku mengenal media sosial dan banyak belajar dari saluran youtube. Penampilanku pun mulai berubah, agak modis.








Cara berpakean dan model pakean apa yang cocok kupelajari dari media sosial juga.  Perawatan wajah dan kecantikan juga kulakukan dengan beli bahan sendiri secara online. Semua pakai gajiku, karena banyak sekali untuk ukuranku sebagai pembantu.


Aku juga bisa membelikan Putra, anaknya kak Sanah dan Kang Darjo baju dan mainan. Juga mengirimkan uang untuk paman Karso dan bik Narsih di kampung. Mereka ikut senang.


Den Riko dan den Teddy pun makin dekat denganku. Malah kalau ada teman-temannya yang main ke rumah, mereka memperkenalkan aku sebagai kakak bukan pembantu.


Soalnya menurut mereka, aku semakin mirip dan seperti jadi kembarannya bu Intan, mama mereka, majikan aku. Kadang aku malu juga disamakan dengan bu Intan.


Tapi ya bangga juga. Bu Intan sudah berusia 55 tahun tapi nampak masih sangat segar dan cantik. Makanya pak Halim yang berusia 65 makin sayang.


"Nah, makin lama di kota kamu kan makin cantik jadinya Empun. Ibu senang kamu pakai gajimu untuk merawat diri, biar lebih cantik. Biar nanti dapet jodoh di kota," kata bu Intan.


Tiap Sabtu dan Minggu, pak Halim dan bu Intan memang pulang ke rumah ini. Supaya ada waktu untuk bersama dengan den Riko dan den Teddy, agar anaknya bisa terpantau.


Alasan mereka, takut kalau den Riko atau den Teddy nakal dan membawa pacar mereka ke rumah melakukan sesuatu yang belum boleh dilakukan. Mereka protektif sekali.


"Iya mama ini seperti Riko masih kecil aja. Tanyain tuh mbak empun, pernah nggak Riko bawa Linda kesini?," kata den Riko, saat bu Putri menanyakan hubungannya dengan Linda.


Pak Halim dan bu Intan tertawa bahagia setiap kali kami ngobrol akrab begitu. 


"Terus kalau mbak empun kalian, nakal nggak? bawa pacar ke sini nggak?," pak Halim menggodaku.


Den Riko dan den Teddy sama-sama menjawab kalau aku juga nggak nakal, apalagi bawa pacar. 


"Lagian, mbak empun kan milih-milih pa. Mas Wawan aja ditolak kok," kata den Teddy.


Aku tersenyum malu. Mereka sudah benar-benar menganggap aku sebagai keluarga dan menjadi bagian keluarga mereka. Aku merasa tidak diperlakukan sebagai pembantu.


BACA JUGA : Empun, ART Pemuas Hasrat Untuk Semua (PART 4)


Tapi mereka semua salah menilaiku. Sebetulnya, ada sesuatu yang sudah terjadi antara aku dan pak Halim, papa mereka yang sangat dihormati dan dihargai.


Sebuah kejadian yang kalau bu Intan tahu pasti langsung jantungan. Hal yang selama ini kujaga dan kututupi. Yang menjadi sebuah pengalaman dan cacatan baru hidupku.


Kisah itu terjadi sehari setelah aku menerima gaji pertamaku, dan mendapatkan hape pemberian den Riko. Siang aku sendiri, den Riko pergi ke toko kayu dan den Teddy kuliah.









Pak Halim datang ke rumah tanpa diantar Ratno sopirnya. 


"Empun.., kamu sudah dikasih gajinya sama Riko kemarin?," tanyanya. 


"Oh, sudah pak, malah dikasih hape juga," jawabku.


"Makasih pak, gajinya banyak sekali tapi," kataku lagi. Kami ngobrol di ruang tamu saat itu. 


"Iya nggak apa empun, biar bisa buat beli baju dan bisa ditabung juga," katanya.


Pak Halim bilang kalau dia senang, karena sejak aku kerja disini, den Riko dan den Teddy lebih betah di rumah. Makannya pun terjamin karena cocok sama masakan aku.


"Oh ya, Riko beneran udah ngasih hape untukmu?.Padahal nanti mau dibelikan juga sama ibu," tanyanya. Aku jawab iya, dan izin untuk mengambil hape pemberian itu di kamarku.







Saat itulah, tanpa aku duga pak Halim mengikutiku. Dia ikut masuk ke kamarku, sementara aku bingung karena nggak mungkin melarang majikanku saat itu.


Aku nggak berpikiran aneh saat itu, karena dia juga nggak nutup pintunya.

 

"Mana lihat hapenya empun. Udah ada nomernya belum?," tanyanya. Kuserahkan hape itu.


"Belum pak, kata den Riko besok mau diaktifkan nomernya," jawabku. 


Pak Halim duduk di kasurku dan memeriksa hape itu, dia memintaku duduk di sampingnya.


Alasannya dia mau ngajarin aku cara pakai hape. Maklum karena aku memang sangat gaptek saat itu. Jadi aku senang sekali waktu mau diajarin oleh pak Halim, dan mulai menyimak.



Pak Halim mengajariku soal save kontak, cara nelpon, cara pakai kamera, dan pengelolaan file. Tapi sialnya, pideo adegan senam yang ada di hape itu belum dihapus oleh den Riko. Sehingga terbuka dan akhirnya tersetel kembali. Aku sangat malu, apalagi hape ada ditangan pak Halim. 


"Wah.. bagus filmnya ini empun.., kamu suka?," katanya padaku.


"Oh, eh. Anu pak. Den Riko nggak mau hapus kemarin," aku bingung menjawabnya.


Tapi pak Halim malah tersenyum dan mencubit pipiku. Aku makin bingung.


"Udah nggak apa, kamu kan udah dewasa juga. Kata pamanmu malah kamu sudah pernah bersuami kan?," tiba-tiba dia menanyakan hal itu padaku. Aku masih tertegun bingung harus bagaimana.






Terus terang kalau membahas masa laluku apalagi soal perceraianku dengan mas Rahman suamiku dulu, aku sakit hati. Jadi saat itu ingin kujelaskan pada pak Halim tentang itu.


Tapi pak Halim rupanya sudah tahu semua dari paman Karso. Dia pun menenangkan aku. 


"Ya namanya hidup empun, anggap aja cobaan ya. Besok kan dapat lebih baik," katanya.



"Lagipula mana mungkin sih kamu nggak bisa punya anak?. Orang kamu seger dan sehat gini kok. Kalau lihat kamu saya jadi ingat ibu Intan di masa mudanya dulu," katanya.


Entah kenapa dia seperti pandai memainkan psikologiku. Saat itu aku seperti menemukan teman curhat yang memahami kondisiku. Sementara pideo dalam hape tetap berjalan.


"Melon bu Intan dulu juga indah banget dan seger seperti punyamu Empun," bisiknya ke telingaku. Aku merinding, dia terus memujiku dan menyamakan aku dengan bu Intan, istrinya.









Pak Halim sepertinya mengerti benar kalau aku sudah mulai terpengaruh dengan adegan senam di hape yang kami tonton. 


"Kita nobar yang sambil tiduran," katanya sambil merengkuhku.


"Eh.. tapi pak," kataku mencoba menolak. Tapi lagi-lagi dia bilang nggak apa-apa cuma nobar aja, nggak ngapa-ngapain. Suara pasangan kepedasan di hape makin keras.


Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari layar hape karena diposisikan pas depan wajahku. 


"Enghh, pak.Jangan ih," kataku saat merasakan dia menyentuh melonku.


"Udah, empun santai aja ya," katanya. Aku semakin berdebar. Bagaimana pun aku wanita yang normal yang merindukan belaian juga. Apalagi cukup lama menjanda.


Lagipula film "nganu" itu sudah membuatku penasaran dan kutonton beberapa kali malam sebelumnya. Rayuan pak Halim dan perlakuannya padaku membuat aku lupa. 
Aku mulai terbuai dan terbawa arus gelombang yang penuh kehangatan. Pakeyan dasterku berantakan. Pak Halim mulai mencicipi manisnya melon segar milikku.


Hape sudah terjatuh ke kasur. Hanya suaranya terdengar bersahutan. Kini aku dan majikanku segera mengambil alih adegan senam irama. 


"Enghh, pakh jangan. Empun takut," kataku.


Pak Halim sudah menjelajahiku. Perbukitan dengan buah melon segar sudah dilaluinya. Dan kini dia sudah menemukan celah sejuk tempat persembunyian rahasia milikku.


"Nggak apa-apa ya empun?," dia menatapku. Pak Halim sudah siap memasuki ruang-ruang kosong itu.


"Enghh.. ahhstt pakh," aku belum menjawab. Pak Halim tak menunggu persetujuanku, dia paham benar aku sudah merindukan hal yang indah itu.


Aku mulai melambung di ketinggian. Dahagaku seperti mendesak untuk segera dipenuhi. Suara kepedasan dari hape seolah menambah semangatku yang besar.


Pak Halim seperti terpukau saat akan melepas semuanya dengan tuntas di dalam aku. Obsesinya lebih dulu tercapai sebelum aku selesai.


"Enghh, pakh. Empun belumhhh pak," aku merengek, memintanya menunggu agar kami bisa samaan merasakanpuncak indah  bersama. Aku ingin sekali meraihnya juga.


"Udah empun. Besok lagi ya. Kan kamu masih bisa begini lagi besok-besok," katanya.


Aku sedikit kecewa, sekaligus malu kok malah aku yang minta lebih. Oh may good !!. pikirku.


Siang itu sebelum kembali ke toko kayu, pak Halim memberiku gaji lagi. Gaji spesial karena telah kusajikan padanya sesuatu yang lembut, hangat dan indah sangat nikmat untuknya.



Hal yang selama lima bulan ini kami tutupi, dan hanya aku dan pak Halim yang tau. Kami sudah bersandiwara di depan bu Intan, den Riko dan den Teddy, itu yang kusesali. (BERSAMBUNG PART 6)









RUBRIK Kisah Hidup menuangkan kisah kehidupan yang diangkat dari cerita kisah nyata dan dikemas ulang dalam bentuk cerita romantis, cerita dewasa.


Kisah yang diangkat diambil dari Kisah Nyata, dan juga fiksi rekaan semata. Kesamaan nama, tempat, dan alur cerita bukanlah sebuah kesengajaan.


Simak Kisah Hidup lainnya di channel YouTube PUTRIE MANDALIKA.


https://www.youtube.com/@putriemandalika1277


Semoga setiap cerita bisa diambil hikmah dan manfaatnya. 


Punya cerita dan ingin berbagi? Kirim ke email : redaksimandalikapost@gmail.com

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Wik-Wik: Empun, ART Pemuas Hasrat untuk Semua (PART 5)

Trending Now