![]() |
Para anggota Lumbung Berdaulat berdiskusi sembari makan siang. (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Gelora gotong royong dan cita-cita luhur untuk mewujudkan ketahanan pangan serta kemandirian bangsa bersemi kuat dalam serangkaian diskusi mendalam bertajuk "Gawe Lumbung Berdaulat" yang mempertemukan beragam elemen masyarakat di Pulau Lombok.
Acara yang berlangsung selama dua hari, Sabtu hingga Minggu (10-11/5/2025), di lingkungan Pondok Pesantren Darussyahidin NW Lingkok Blek, Desa Langko, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini tidak hanya membahas isu-isu krusial mulai dari kebijakan pemerintah pusat hingga daerah terkait ketahanan pangan, bioenergi, dan pendidikan, tetapi juga merumuskan langkah-langkah nyata untuk memberdayakan masyarakat melalui rekonseptualisasi lumbung.
Diskusi yang berjalan hangat dan konstruktif ini, menurut salah satu penggagasnya, almarhum Eko SB Harianto (Mas Eko-red) yang semasa hidupnya dikenal gigih mengadvokasi pertanian organik, kesetaraan gender, pelestarian lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi syariah di pelosok Lombok, bertujuan untuk mentransformasi lumbung dari sekadar gudang penyimpanan hasil panen menjadi pusat interaksi sosial, transfer pengetahuan, pertukaran gagasan, dan aksi kolektif.
"Alhamdulillah, harapan dan cita-cita mas Eko diwujudkan oleh teman-teman Lumbung. Semoga pituah dan ilmu yang ditanamkan kepada teman-teman menjadi amal ibadah almarhum," ungkap Dian Ariani, figur sentral dalam pengembangan konsep lumbung di NTB, dengan penuh harap.
Lebih lanjut, Bunda Dian, sapaan akrabnya di komunitas lumbung, menekankan bahwa "Gawe lumbung, bukan sekedar diskusi. Dulu Mas Eko (almarhum) itu bicara tentang lumbung adalah contoh kecil bagaimana cara bertata negara yang baik, bagaimana gotong royong akan tumbuh itu harus dihidupkan kembali. Konsep lumbung itu sederhana, berdaulat pada diri sendiri dan gotong royong," tegasnya sembari mengenang jasa-jasa almarhum mas Eko.
Ia juga mengusulkan agar pertemuan-pertemuan tematik rutin diadakan untuk mengupas berbagai isu secara mendalam.
"Kalau untuk tempat dan waktu bisa kita bicarakan, kalau kita mau belajar maka pertemuan-pertemuan semacam ini akan kita buka terus bicara tentang isu-isu kekinian seperti ketahanan pangan, stanting, lingkungan, koperasi merah putih, makanan bergizi gratis dan lain-lain," jelasnya.
Gagasan untuk memperkuat identitas lumbung sebagai sebuah komunitas yang solid juga mengemuka.
Mashur, ahli IT salah satu anggota Lumbung, mengilustrasikan pentingnya simbol dan branding dengan menuturkan, Kalau kita bicara prinsip hukum penyimpanan identik dengan perempuan.
Bahkan, visi jangka panjang yang diusung adalah menjadikan lumbung sebagai pengusul kebijakan dan penyedia jasa konsultasi di bidang pertanian organik serta pengembangan potensi desa.
"Sehingga nama Lumbung dikenal oleh khalayak, dan menjadi media kita bersama untuk bergerak dalam pemberdayaan masyarakat. Ini menjadi harapan kita," katanya.
Mashur juga menyoroti pentingnya proses refleksi dan respons terhadap isu-isu aktual sebagai landasan setiap diskusi.
"Jadi ada proses itu ada proses refleksi kemudian merespon. Ada hal baik kita coba perbuat, ada persoalan kita coba terbuka," ujar Mashur.
![]() |
Salah seorang anggota Lumbung Berdaulat belajar fotografer. |
Diskusi yang tidak hanya berkutat pada tataran konsep, tetapi juga berorientasi pada tindakan nyata, menjadi ciri khas pertemuan ini.
Identifikasi potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di sekitar lumbung menjadi langkah awal dalam merespons berbagai isu mendesak.
Keberagaman latar belakang peserta, mulai dari aktivis pemberdayaan, penggiat pendidikan, pakar teknologi informasi, hingga praktisi pertanian dan peternakan, memperkaya jalannya diskusi.
Tuan Guru Haji (TGH) Kholil QH, tokoh masyarakat yang turut hadir, membagikan pengalamannya dalam membangun pondok pesantren dan menekankan esensi "jiwa" dalam setiap gerak Lumbung Berdaulat.
"Lumbung ini bisa saya katakan bahwa bagian dari simbol ketahanan pangan, di mana kita mempertahankan tradisi leluhur dengan kearifan lokal," ujarnya.
Potensi kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pembentukan koperasi yang bersifat sinergis, juga menjadi bahasan menarik.
"Sekarang pemerintah pusat mencanangkan koperasi merah putih, maka koperasi merah putih sebagai kompetitor kalaupun nanti kita akan membentuk koperasi sebagai wujud penggerak ekonomi anggota. Koperasi merah putih adalah jadi partner kita," jelas TGH Kholil.
Awal Afandi, sosok yang memiliki kedekatan dengan almarhum Mas Eko, mengenang filosofi awal terbentuknya gerakan lumbung di Lombok.
"Beliau menyarankan kami membuat wadah atau pusat belajar masyarakat, namanya SAMBI. Pemikiran beliau itu, wadah ini jadi pusat segala informasi, menimba ilmu dan silaturahmi," kenangnya, menggambarkan lumbung sebagai ruang inklusif untuk belajar dan berbagi.
Menatap masa depan, potensi integrasi teknologi digital dalam mengembangkan Lumbung Berdaulat menjadi bahasan yang menggugah.
Transformasi digital diharapkan mampu memperkuat jaringan dan memperluas dampak positif gerakan ini. Rencana ambisius untuk membangun seratus sentra Lumbung Berdaulat berbasis pondok pesantren dan sekolah menjadi salah satu langkah strategis untuk mewujudkan visi tersebut.
Diskusi yang berlangsung selama dua hari hingga menjelang waktu salat Asar tersebut mencerminkan komitmen kuat dari berbagai pihak untuk menjadikan Lumbung Berdaulat sebagai gerakan nyata yang berkontribusi pada kemajuan bangsa dan daerah, berlandaskan pada nilai-nilai luhur gotong royong dan kearifan lokal.
"Semangat untuk terus belajar, berbagi, dan berkolaborasi menjadi kunci utama dalam mewujudkan cita-cita luhur ini," pungkas Awal Afandi, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Stuta, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah.