![]() |
Tim Opjar Kecamatan Sembalun saat berada di Kantor Desa Sajang, (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Upaya penarikan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, menghadapi tantangan berat. Tim Operasi Kejar Pajak (Opjar) melaporkan bahwa dari target tunggakan sebesar Rp2 miliar dalam dua minggu, realisasi pembayaran baru mencapai sekitar Rp13 juta atau hanya 0,5%.
Ketua Tim Opjar wilayah Kecamatan Sembalun, Suherman S.STP, mengungkapkan beberapa hambatan signifikan yang menjadi penyebab seretnya penarikan pajak.
Menurut Suherman, salah satu kendala utama adalah masalah data. Banyak data tagihan yang seharusnya tidak masuk ke sistem Pemda, seperti pajak perkebunan PT SKE yang langsung dibayarkan ke negara, justru masih muncul sebagai tunggakan di daerah.
"Data yang seharusnya tidak masuk menjadi tagihan Pemda rupanya masih masuk di sistem. Contoh PT SKE itu kan tidak membayar pajak PBB, tetapi mereka membayar pajak perkebunan itu langsung ke negara bukan ke daerah, berarti masih masuk di aplikasi PRIRI karena muncul tagihannya," jelas Suherman.
Selain itu, ketidaktertiban data objek pajak dan wajib pajak juga menjadi persoalan. Banyak lahan yang telah beralih fungsi menjadi tempat usaha seperti penginapan, homestay dan perhotelan namun data NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dan balik nama SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) belum disesuaikan. Hal ini menyebabkan tagihan masih atas nama pemilik lama, menghambat penarikan pajak dari usaha-usaha produktif tersebut.
Suherman menekankan bahwa persoalan ini bukan semata kelalaian masyarakat, melainkan juga ada faktor kelalaian dari pemerintah dalam memperbarui data.
"Ketika orang membeli objek properti itu yang dia urus pertama itu adalah bukti kepemilikan ya sertifikat misalnya, sementara SPPT itu adalah bukan bukti kepemilikan," ujarnya, menjelaskan mengapa banyak masyarakat tidak mengurus balik nama SPPT.
Aplikasi pendataan pajak yang belum premium juga menyumbang masalah. Data yang dibawa oleh tim Opjar adalah print out dari aplikasi, sementara di lapangan, banyak masyarakat mengaku sudah membayar namun di sistem belum tercentang lunas.
"Aplikasi Priri ini bukan aplikasi premium sehingga data yang kita bawa ini adalah print out dari aplikasi Priri. Sementara di lapangan kita menemukan bahwa masyarakat sudah membayar tetapi di aplikasi Priri tidak tercentang lunas sehingga itu dianggap sebagai tunggakan," katanya.
Tim Opjar kini bertugas untuk memverifikasi langsung pembayaran di lapangan dan mengurai penyebab putusnya data tersebut, terutama karena banyak masyarakat membayar secara manual melalui kepala dusun atau RT.
Kendala lain yang dihadapi tim adalah kesulitan dalam menagih pajak dari objek yang diwariskan, di mana nama pemilik lama yang sudah meninggal atau sudah dihibahkan ke anak keturunannya juga masih tertera di SPPT.
"Nama orang tuanya yang sudah lama meninggal maupun orang tuanya menghibahkan kepada anaknya itu masih tertera di SPPT, kemudian sekarang yang menguasai tanah itu adalah anak keturunannya yang belum dipecah," ungkap Suherman.
Hal ini menyulitkan penagihan karena seringkali pembayaran pajak dilakukan secara patungan oleh ahli waris. "Bahkan saling menangguhkan, yang bayar pajak tahun ini kadang kakanya ditangguhkan oleh adiknya dan lain sebagainya," keluhnya.
Tanggapan Pemerintah Desa Sajang: Apresiasi, Namun Butuh Timbal Balik Infrastruktur
Menanggapi kendala ini, Sekretaris Desa (Sekdes) Sajang, Hidmatul Arif, mewakili pemerintah desa, menyampaikan apresiasinya terhadap upaya pengoptimalan pajak daerah. Namun, ia juga menyoroti kenaikan pajak yang signifikan dari tahun 2024 menuju 2025 yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
"Pergerakan terhadap pajak ini kan sangat signifikan kenaikannya dan itu sangat dirasakan langsung oleh masyarakat," kata Arif.
Ia juga menegaskan bahwa masyarakat Sajang cukup aktif dalam membayar pajak, dan kemungkinan tunggakan berasal dari kendala data atau pemilik yang tidak berdomisili di sana.
Sekdes Sajang juga menyampaikan harapan dari masyarakat terkait penerangan jalan umum (PJU). Meskipun bukan korelasi langsung dengan PBB, ia menyoroti bahwa ada potongan dalam setiap pembayaran rekening listrik yang masuk ke Pemda untuk fasilitas PJU.
"Sepanjang jalan di desa kita ini kan tidak ada penerangan jalan sama sekali. Paling tidak walaupun tidak korelasinya berbeda dengan PBB, tapi kalau dia lampu jalan ini kan dia bersinggungan dengan listrik," ujarnya.
"Ada potongan beberapa persen yang masuk ke Pemda untuk memfasilitasi terkait dengan PJU dari rekening (token listrik) masing-masing sejak dahulu sudah ada itu potongan itu," tambahnya.
Pemerintah Desa Sajang berharap ada timbal balik yang jelas dari pemerintah daerah terkait penerimaan pajak ini, terutama untuk kebutuhan infrastruktur dasar seperti PJU.
"Kami butuh arahan, kemana kami mengusulkan PJU itu maksud saya, misalnya ada feedback tanggapan balik dari masyarakat apa yang kami dapat dari membayar pajak. Ini caranya, kan kami bisa melalui tahapan itu, maksudnya untuk bisa menjemput itu," pungkas Arif, menekankan pentingnya komunikasi dan transparansi dalam pengelolaan pajak demi meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat.