![]() |
Ilustrasi: Perkawinan anak di usia dini, (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com - Kabupaten Lombok Timur (Lotim) menghadapi krisis serius terkait perkawinan anak, dengan mencatat 4.082 kasus, menjadikannya wilayah dengan angka tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Data ini merupakan bagian dari 14.145 kasus perkawinan anak di seluruh NTB. Situasi ini mendorong pemerintah dan berbagai pihak untuk segera mengambil tindakan.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lotim, Juaini Taofik, mengakui bahwa meskipun telah ada Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Desa (Perdes), implementasinya masih belum optimal.
"Kami berharap pesan ini disampaikan di setiap momentum, termasuk dalam ceramah-ceramah peringatan hari besar Islam," ungkap Juaini, saat dikonfirmasi pada Sabtu (13/9).
Ia menegaskan pentingnya kolaborasi dengan tokoh agama dan masyarakat untuk menyosialisasikan bahaya perkawinan anak.
Di tempat terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumberdaya Mitra (LPSDM), Ririn Hayudiani, menegaskan bahwa perkawinan anak adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang merampas hak-hak dasar anak atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan.
"Perkawinan anak itu bagian dari TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Klausul pasal sudah sangat jelas bahwa perkawinan usia anak merupakan kekerasan seksual," tegas Ririn.
Ia menambahkan bahwa pelaku dapat dijerat UU TPKS dengan denda hingga Rp200 juta dan hukuman penjara 9 tahun.
Ririn juga menyoroti peran kepala desa dan perangkat wilayah sebagai garda terdepan dalam pencegahan, karena mereka yang mengeluarkan izin dan paling mengetahui kondisi di lapangan.
Ririn Hayudiani menjelaskan bahwa secara fisik, tubuh anak belum siap untuk persalinan, yang berisiko menyebabkan trauma berat hingga kecacatan permanen. Selain itu, kehamilan pada usia anak memicu berbagai masalah kesehatan, seperti malnutrisi pada ibu dan janin, yang berkontribusi pada stunting, BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah), dan peningkatan angka kematian ibu dan bayi.
"Anak masih memerlukan gizi yang cukup, jika terjadi perkawinan anak dan kehamilan, maka tubuh anak masih berebut asupan gizi dengan janin," ujar Ririn.
Meskipun pemerintah telah membuat regulasi, Ririn mengkritik lemahnya implementasi dan pengawasan. Ia berharap semua Perda yang ada dapat mengacu pada UU TPKS dan didukung oleh pengawasan aktif dari masyarakat dan aparat desa.
"Pemerintah hanya bisa bikin Perda, tapi lemah dalam implementasi dan pengawasan," pungkasnya.
Perkawinan anak memiliki dampak luas, termasuk kemiskinan, peningkatan kasus kematian ibu dan anak, dan anak putus sekolah, yang semuanya menghambat pembangunan daerah secara keseluruhan.