![]() |
GEMPAR UGR Gelar kemah bakti di Kebun Raya Lemor belum lama ini, (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com — Pernyataan pembatalan rencana pembangunan Sekolah Garuda di Kebun Raya Lemor (KRL) oleh Bupati Lombok Timur, Haerul Warisin, disambut baik namun juga kritis oleh kelompok aktivis mahasiswa lingkungan.
Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam Rinjani Universitas Gunung Rinjani (GEMPAR UGR) mendesak Pemkab tidak hanya berhenti pada janji verbal, tetapi memastikan pembatalan melalui dokumen hukum resmi.
Tak hanya itu, GEMPAR UGR bahkan melayangkan tantangan terbuka kepada Bupati dan jajarannya untuk langsung mengunjungi KRL, sebuah kawasan yang mereka sebut sebagai "paru-paru ekologis Lombok Timur."
Sejak awal September 2025, rencana pembangunan proyek pendidikan unggulan pemerintah pusat di atas lahan 20 hektare Kebun Raya Lemor, Desa Suela, Kecamatan Suela, telah memicu gelombang kekhawatiran.
Diman KRL dikenal sebagai kawasan lindung dengan hutan lebat, resapan air vital, dan sumber irigasi bagi ribuan hektare sawah warga di sekitarnya.
Mahasiswa dan warga berargumen bahwa KRL adalah bukan lahan kosong, melainkan kawasan yang memiliki fungsi ekologis krusial.
Kadafi, Ketua GEMPAR UGR, menyatakan respons awal mereka. “Lemor bukan lahan kosong. Setiap pembangunan harus melalui kajian ilmiah, hukum, dan sosial. Tanpa dokumen resmi dan keputusan sah, proyek ini tetap hidup dalam persepsi publik dan hukum," jelasnya saat dikonfirmasi, Kamis (9/10).
GEMPAR UGR kemudian bergerak cepat menyusun laporan dampak ekologis, melakukan aksi massa ke DPRD dan Bupati, serta menggandeng akademisi. Kajian ilmiah yang mereka peroleh menegaskan bahwa gangguan di KRL dapat memicu erosi, penurunan kualitas air, dan mengancam habitat spesies endemik.
“Setiap batang pohon yang ditebang, setiap resapan air yang tersumbat beton, akan berimbas pada kehidupan warga di lingkar ini,” tegas Kadafi, menekankan pentingnya fungsi ekologis Lemor sebagai penyeimbang ekosistem.
Akhir September 2025, tekanan publik mencapai puncaknya. Tuntutan dan protes yang dikirim ke Bupati dan DPRD menuntut bukti nyata berupa dokumen resmi dan kajian Amdal, bukan sekadar janji-janji di media.
Pada awal Oktober 2025, Bupati Haerul Warisin akhirnya mengumumkan pembatalan pembangunan Sekolah Garuda di Lemor, dengan mengalihkan lokasi proyek ke Menanga Baris, Kecamatan Pringgabaya.
Meski menyambut baik sikap ini, GEMPAR UGR menyatakan bahwa kepastian hukum adalah hal utama.
“Kami menghargai langkah baik pemerintah, tetapi Lemor simbol kehidupan, paru-paru lingkungan, dan ruang belajar alam. Tanpa dokumen resmi, kata-kata tetap hanya janji,” ujar Kadafi, mewakili sikap kritis mahasiswa.
Sebagai puncak dari perjuangan mereka, GEMPAR UGR menantang Bupati dan jajaran Pemkab untuk tidak hanya berdiskusi di ruang rapat, tetapi untuk datang dan merasakan langsung kondisi Kebun Raya Lemor. Tantangan ini menjadi pesan moral bahwa Lemor harus dipahami, bukan sekadar dibicarakan.
“Datanglah ke Lemor, rasakan angin sejuk, dengarkan aliran air, amati dan resapi,” tantang Kadafi.
“Hanya dengan pengalaman langsung, kita bisa memahami mengapa kawasan ini harus dijaga," imbuhnya.
Mahasiswa berkomitmen untuk terus memantau kebijakan pemerintah, memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah nyata dan berpihak pada keberlanjutan alam serta kepentingan rakyat.