![]() |
| Demo: Puluhan warga Desa Bilok Petung gelar aksi dan penyegelan kantor Desa, (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIAPOST.com – Di sebuah desa kecil di kaki Gunu g Rijnani,
suara mesin senso (mesin kayu) yang meraung di tengah hutan adat Pawang Batu
Asan, Desa Bilok Prtung, Kecamatan Sembalun, alombok Timur, terasa jauh lebih
nyaring daripada suara warga yang sudah berbulan-bulan meminta pemerintah hadir
menyelesaikan persoalan.
Keluhan yang
berulang, pertemuan yang tak membuahkan hasil, hingga janji-janji yang tak
kunjung ditepati, akhirnya pecah menjadi aksi penyegelan Kantor Desa Bilok
Petung oleh puluhan warga bersama para tokoh adat setempat pada Kamis (27/11)
kemari.
Bagi sebagian
orang, penyegelan kantor desa mungkin terdengar ekstrem. Namun bagi Jayadi
Wardian dan para tetua adat lainnya, langkah itu justru dipilih sebagai upaya terakhir agar tidak terjadi konflik
horizontal.
Mereka khawatir,
jika lahan adat/ulayat terus dibabat tanpa kejelasan, gesekan antarwarga
tinggal menunggu waktu.
“Ini satu-satunya
cara agar tidak ada yang jadi korban. Biar tidak ada main hakim sendiri,” ujar
Jayadi, tokoh masyarakat dengan suara pelan namun tegas.
Ketika Aparatur Desa
Diduga Terlibat
Konflik bermula
dari aktivitas pembabatan dan penggarapan lahan adat/ulaya di Pawang Batu Asan.
Ironisnya, sebagian warga menilai dugaan keterlibatan aparatur desa justru
membuat proses penyelesaian berlarut.
Berulang kali
warga mendatangi Kepala Desa dan Kepala Dusun untuk meminta penjelasan. Namun,
karena kedua pejabat itu disebut-sebut sebagai pihak yang turut menandatangani
dokumen terkait administrasi tanah tersebut, dialog berjalan stagnan.
Di lapangan,
pembabatan tak kunjung berhenti. Semula hanya menggunakan parang, namun
belakangan alat mesin kayu (senso) mulai masuk dan meratakan kawasan hutan yang
selama ini menjadi ruang hidup masyarakat adat.
Janji Camat,
Penolakan Penggarap
Kondisi kian
memanas ketika warga menempuh aksi demonstrasi pertama. Kades berjanji akan
memberi keputusan dalam satu minggu. Namun pekan berlalu tanpa hasil.
Demonstrasi susulan
diendus oleh muspika Sembalun, akhirnya kedua belah pihak dimediasi di Kantor
Camat Sembalun. Dalam pertemuan yang dihadiri Muspika, Camat menegaskan bahwa lahan tersebut seharusnya dikembalikan
fungsinya sebagai tanah adat dan fasilitas umum.
Akan tetapi,
pihak yang menggarap menolak keputusan itu. Pelecehan terhadap keputusan Muspika
ini membuat warga semakin yakin bahwa penyelesaian tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Pemda Dinilai Lamban
dan Tidak Tegas
Warga kemudian
mengadu ke Polres Lombok Timur. Namun polisi menyatakan bahwa persoalan tersebut
merupakan ranah perdata yang menjadi kewenangan Pemda.
Proses pun
berlanjut ke lima bidang instansi di Pemerintah Daerah Lombok Timur yakni mulai
dari Dinas PMD, Bagian Hukum, Bagian Aset, serta instansi lainnya. Tetapi,
menurut warga, yang mereka terima hanya
janji, bukan tindakan.
Yang lebih membuat resah, warga mengaku beberapa orang penggarap mengaku setiap kali tahapan proses bahwa tidak pernah dilarang oleh pemerintah terkait untuk melakukan aktivitas di obyek sengketa. Sebuah informasi yang makin memperbesar kecurigaan bahwa laporan warga dianggap sepele sehingga membuat warga penuntut semakin geram hingga dilakukan aksi penyegelan kantor desa.
“Sementara aduan
berjalan, pembabatan tiap hari justru makin meluas,” tuturnya.
Status Tanah yang
Janggal: Terdata sebagai Aset Adat, Namun Tak Dilindungi
Jayadi juga
mengungkapkan bahwa tanah Pawangng Batu Asan sebenarnya sudah terdata sebagai aset adat di Bidang Aset Pemda Lombok Timur
sejak Desa Bilok Petung masih statusnya di Desa Sajang samapi pemekaran desa.
Karena merupakan tanah adat ulayat, lahan tersebut memang tidak memiliki
sertifikat atas nama satu orang.
Ketiadaan
Peraturan Daerah tentang tanah adat di NTB membuat posisi masyarakat adat
semakin rapuh. Bila tanah yang sudah terdata saja dapat digarap, warga khawatir
ribuan hektar tanah adat/ulayat lainnya di Lombok akan menyusul hilang
fungsinya.
“Ini bukan hanya
masalah Bilok Petung. Ini ancaman untuk semua desa adat yang punya tanah
ulayat,” kata Jayadi.
Penyegelan Kantor
Desa: Antara Hak Administratif dan Hak Adat
Aksi penyegelan
kantor desa dilakukan bukan untuk melumpuhkan pelayanan publik, melainkan
sebagai peringatan keras kepada pemerintah.
Pihak Muspika
akhirnya turun tangan. Dalam pertemuan hari itu, sejumlah kesepakatan dicapai:
- Segel kantor desa dibuka kembali agar pelayanan publik tetap
berjalan.
- Semua dokumen sporadik yang berkaitan dengan tanah Pawang Batu Asan
akan dicabut dan diamankan paling lambat Senin.
- Lokasi sengketa dipasang garis segel (police line) untuk menghentikan
seluruh aktivitas hingga sengketa selesai.
Warga menerima
keputusan tersebut, namun tetap menekankan bahwa pemerintah harus hadir lebih
tegas dan bijak.
“Kami tahu
masyarakat juga perlu pelayanan. Tapi kami pun butuh kepastian hukum. Ini aset adat,
aset umum, bukan kepentingan pribadi,” tegas Jayadi.
Konflik Agraria di
Tengah Minimnya Perlindungan Tanah Adat
Kasus Bilok
Petung memperlihatkan bagaimana konflik agraria bisa muncul dari celah
regulasi, ketidak tegasan aparatur, dan lambannya respons pemerintah.
Ketika aparat
desa diduga terlibat, Muspika tak dihargai, dan Pemda tak sigap, masyarakat
adat yang selama ini memelihara hutan justru menjadi pihak paling dirugikan.
Bagi warga Dusun
Lendean dan dua dusun lainnya,
penyegelan kantor desa bukan sekadar aksi protes. Ini adalah panggilan darurat
agar pemerintah melindungi ruang hidup mereka, tanah yang menyimpan sejarah
leluhur, sumber air, dan masa depan generasi berikutnya.
Di antara
tumpukan kayu yang ditebang dan bekas rantai senso yang membelah kayu, harapan
itu tetap menggantung, bahwa negara
akan hadir, bukan terlambat hadir.

