Warga Segel Kantor Desa Bilok Petung: Saat Tanah Adat, Hutan, dan Pelayanan Publik Bertemu di Persimpangan Konflik

Rosyidin S
Jumat, November 28, 2025 | 15.13 WIB Last Updated 2025-11-28T10:28:31Z
Demo: Puluhan warga Desa Bilok Petung gelar aksi dan penyegelan kantor Desa, (Foto: Istimewa/MP).

MANDALIAPOST.com  – Di sebuah desa kecil di kaki Gunu g Rijnani, suara mesin senso (mesin kayu) yang meraung di tengah hutan adat Pawang Batu Asan, Desa Bilok Prtung, Kecamatan Sembalun, alombok Timur, terasa jauh lebih nyaring daripada suara warga yang sudah berbulan-bulan meminta pemerintah hadir menyelesaikan persoalan.


Keluhan yang berulang, pertemuan yang tak membuahkan hasil, hingga janji-janji yang tak kunjung ditepati, akhirnya pecah menjadi aksi penyegelan Kantor Desa Bilok Petung oleh puluhan warga bersama para tokoh adat setempat pada Kamis (27/11) kemari.

 

Bagi sebagian orang, penyegelan kantor desa mungkin terdengar ekstrem. Namun bagi Jayadi Wardian dan para tetua adat lainnya, langkah itu justru dipilih sebagai upaya terakhir agar tidak terjadi konflik horizontal.

 

Mereka khawatir, jika lahan adat/ulayat terus dibabat tanpa kejelasan, gesekan antarwarga tinggal menunggu waktu.

 

“Ini satu-satunya cara agar tidak ada yang jadi korban. Biar tidak ada main hakim sendiri,” ujar Jayadi, tokoh masyarakat dengan suara pelan namun tegas.

 

Ketika Aparatur Desa Diduga Terlibat

 

Konflik bermula dari aktivitas pembabatan dan penggarapan lahan adat/ulaya di Pawang Batu Asan. Ironisnya, sebagian warga menilai dugaan keterlibatan aparatur desa justru membuat proses penyelesaian berlarut.

 

Berulang kali warga mendatangi Kepala Desa dan Kepala Dusun untuk meminta penjelasan. Namun, karena kedua pejabat itu disebut-sebut sebagai pihak yang turut menandatangani dokumen terkait administrasi tanah tersebut, dialog berjalan stagnan.

 

Di lapangan, pembabatan tak kunjung berhenti. Semula hanya menggunakan parang, namun belakangan alat mesin kayu (senso) mulai masuk dan meratakan kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat adat.

 

Janji Camat, Penolakan Penggarap

 

Kondisi kian memanas ketika warga menempuh aksi demonstrasi pertama. Kades berjanji akan memberi keputusan dalam satu minggu. Namun pekan berlalu tanpa hasil.

 

Demonstrasi susulan diendus oleh muspika Sembalun, akhirnya kedua belah pihak dimediasi di Kantor Camat Sembalun. Dalam pertemuan yang dihadiri Muspika, Camat menegaskan bahwa lahan tersebut seharusnya dikembalikan fungsinya sebagai tanah adat dan fasilitas umum.

 

Akan tetapi, pihak yang menggarap menolak keputusan itu. Pelecehan terhadap keputusan Muspika ini membuat warga semakin yakin bahwa penyelesaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

Pemda Dinilai Lamban dan Tidak Tegas

 

Warga kemudian mengadu ke Polres Lombok Timur. Namun polisi menyatakan bahwa persoalan tersebut merupakan ranah perdata yang menjadi kewenangan Pemda.

 

Proses pun berlanjut ke lima bidang instansi di Pemerintah Daerah Lombok Timur yakni mulai dari Dinas PMD, Bagian Hukum, Bagian Aset, serta instansi lainnya. Tetapi, menurut warga, yang mereka terima hanya janji, bukan tindakan.

 

Yang lebih membuat resah, warga mengaku beberapa orang penggarap mengaku setiap kali tahapan proses bahwa tidak pernah dilarang oleh pemerintah terkait untuk melakukan aktivitas di obyek sengketa. Sebuah informasi yang makin memperbesar kecurigaan bahwa laporan warga dianggap sepele sehingga membuat warga penuntut semakin geram hingga dilakukan aksi penyegelan kantor desa.


“Sementara aduan berjalan, pembabatan tiap hari justru makin meluas,” tuturnya.

 

Status Tanah yang Janggal: Terdata sebagai Aset Adat, Namun Tak Dilindungi

 

Jayadi juga mengungkapkan bahwa tanah Pawangng Batu Asan sebenarnya sudah terdata sebagai aset adat di Bidang Aset Pemda Lombok Timur sejak Desa Bilok Petung masih statusnya di Desa Sajang samapi pemekaran desa. Karena merupakan tanah adat ulayat, lahan tersebut memang tidak memiliki sertifikat atas nama satu orang.

 

Ketiadaan Peraturan Daerah tentang tanah adat di NTB membuat posisi masyarakat adat semakin rapuh. Bila tanah yang sudah terdata saja dapat digarap, warga khawatir ribuan hektar tanah adat/ulayat lainnya di Lombok akan menyusul hilang fungsinya.

 

“Ini bukan hanya masalah Bilok Petung. Ini ancaman untuk semua desa adat yang punya tanah ulayat,” kata Jayadi.

 

Penyegelan Kantor Desa: Antara Hak Administratif dan Hak Adat

 

Aksi penyegelan kantor desa dilakukan bukan untuk melumpuhkan pelayanan publik, melainkan sebagai peringatan keras kepada pemerintah.

 

Pihak Muspika akhirnya turun tangan. Dalam pertemuan hari itu, sejumlah kesepakatan dicapai:

  1. Segel kantor desa dibuka kembali agar pelayanan publik tetap berjalan.
  2. Semua dokumen sporadik yang berkaitan dengan tanah Pawang Batu Asan akan dicabut dan diamankan paling lambat Senin.
  3. Lokasi sengketa dipasang garis segel (police line) untuk menghentikan seluruh aktivitas hingga sengketa selesai.

 

Warga menerima keputusan tersebut, namun tetap menekankan bahwa pemerintah harus hadir lebih tegas dan bijak.

 

“Kami tahu masyarakat juga perlu pelayanan. Tapi kami pun butuh kepastian hukum. Ini aset adat, aset umum, bukan kepentingan pribadi,” tegas Jayadi.

 

Konflik Agraria di Tengah Minimnya Perlindungan Tanah Adat

 

Kasus Bilok Petung memperlihatkan bagaimana konflik agraria bisa muncul dari celah regulasi, ketidak tegasan aparatur, dan lambannya respons pemerintah.

 

Ketika aparat desa diduga terlibat, Muspika tak dihargai, dan Pemda tak sigap, masyarakat adat yang selama ini memelihara hutan justru menjadi pihak paling dirugikan.

 

Bagi warga Dusun Lendean dan dua dusun  lainnya, penyegelan kantor desa bukan sekadar aksi protes. Ini adalah panggilan darurat agar pemerintah melindungi ruang hidup mereka, tanah yang menyimpan sejarah leluhur, sumber air, dan masa depan generasi berikutnya.

 

Di antara tumpukan kayu yang ditebang dan bekas rantai senso yang membelah kayu, harapan itu tetap menggantung, bahwa negara akan hadir, bukan terlambat hadir.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Warga Segel Kantor Desa Bilok Petung: Saat Tanah Adat, Hutan, dan Pelayanan Publik Bertemu di Persimpangan Konflik

Trending Now