![]() |
Dr. Teguh Satya Bhakti, Pemerhati Lingkungan dan Praktisi Hukum, (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKA POST.com - Kerusakan alam dan krisis lingkungan di Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya bencana tahunan seperti banjir bandang, telah mencapai tahap mengkhawatirkan.
Menanggapi situasi "zona merah" ini, Pemerhati Lingkungan dan Praktisi Hukum, Teguh Satya Bhakti, menyuarakan pentingnya kembali menengok hukum adat sebagai benteng pelestarian alam.
Dalam pernyataan resminya kepada media belum lama ini, Teguh menyoroti parahnya dampak krisis ini, termasuk banjir di Bali dan wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Pulau Lombok, yang dikenal sebagai destinasi wisata internasional.
"Banjir parah yang melanda sejumlah daerah di Bali telah merenggut banyak korban jiwa. Peristiwa ini pun menyita perhatian luas karena menimpa destinasi wisata internasional," ungkap Teguh, sembari menambahkan bahwa Lombok juga tak luput dari terpaan bencana serupa.
Teguh berpendapat bahwa kompleksitas masalah lingkungan mulai dari pembalakan liar, konversi lahan, hingga menurunnya daya serap tanah memerlukan pendekatan yang komprehensif.
Ia melihat masyarakat adat, khususnya masyarakat Sasak di Lombok, memiliki kearifan lokal yang berbasis pada tradisi dan hukum adat untuk menjaga kelestarian alam.
Inti dari kearifan ini adalah Awik-Awik, suatu ketentuan adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam, seperti larangan menebang pohon di kawasan hutan lindung, kewajiban menanam pohon pengganti, dan sanksi denda adat bagi pelanggar.
"Di tengah ancaman ini, masyarakat adat Sasak sebenarnya memiliki kearifan lokal yang berbasis pada tradisi dan hukum adat untuk menjaga kelestarian alam," tegas Teguh.
Ia menyayangkan kurangnya perhatian generasi kekinian terhadap nilai-nilai warisan leluhur ini.
"Karena itu, budaya lokal sebagai formula dalam mencegah bencana ekologis perlu ditengok kembali," ujarnya.
Menurut Teguh, masyarakat Sasak memandang alam tidak hanya sebagai sumber daya ekonomi atau objek wisata, tetapi juga memiliki dimensi spiritual, sejalan dengan pandangan ekosentrisme. Mereka membuktikan manusia dan lingkungan sebagai satu kesatuan.
Aturan adat seperti Awik-Awik berfungsi sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan jauh sebelum regulasi formal negara hadir. Desa Bayan di Lombok Utara menjadi contoh konsisten dalam penerapan tradisi ini untuk pengelolaan hutan.
Sayangnya, implementasi hukum adat kerap terbentur tantangan modernisasi, arus kapitalisme, predator, dan kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan peran masyarakat adat.
Teguh mengkritik banyaknya kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat adat, seperti pemberian izin tambang ilegal di sekitar Gunung Rinjani yang merusak hutan adat dan berujung pada bencana.
Ia juga mengingatkan bahwa "Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara jelas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak tradisional mereka."
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya penguatan hukum adat ini dalam sistem hukum nasional.
"Jika sistem ini diperkuat dengan dukungan negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bencana banjir dapat ditekan secara perlahan, setidaknya dimulai dari pelestarian budaya lokal," jelasnya.
Untuk mengatasi krisis ini, Teguh Satya Bhakti menyarankan sejumlah langkah, termasuk penguatan peran hukum adat Sasak melalui Peraturan Daerah (Perda), integrasi kearifan lokal dalam program pelestarian hutan, dan penegakan hukum yang tegas.
Gubernur NTB diminta untuk tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga membangun fondasi hukum yang kokoh, termasuk Perda tentang Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan yang memberikan sanksi tegas terhadap perusak lingkungan, seperti operator tambang ilegal.
Ia juga menekankan bahwa "menjaga kearifan lokal bukanlah perkara gampang," mengingat terpaan budaya luar dan keputusan pemerintah yang mengabaikan pranata lokal.
Sebagai penutup, Teguh menegaskan bahwa solusi sejati bagi krisis lingkungan global mungkin terpendam pada kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun.
"Jika nilai-nilai adat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, Indonesia berpotensi menjadi acuan bagi dunia bagaimana tradisi lokal menjadi metode kultural guna merawat alam, menyelamatkan hutan, dan melestarikan bumi," pungkasnya.