Menyikapi "Merariq Kodeq"

MandalikaPost.com
Senin, November 02, 2020 | 15.40 WIB
PENULIS : H Lalu Bayu Windia, Ketua Harian Majelis Adat Sasak (MAS).


ISTILAH "Merariq Kodeq" ini bermasalah, karena menggunakan bahasa lokal etnis tertentu. Seakan kasus itu hanya ditujukan pada etnis tertentu. 


Mengapa tidak belajar dari nama virus yang sangat terkenal saat ini. Mengapa virus Covid 19 dinamakan seperti itu? Adalah untuk menghindari stigmatisasi pada bangsa atau binatang tertentu.


Sebelumnya, virus-virus populer di jagat ini bernama : black dead, karena orang kulit hitam yang pertama kali terjangkit. Ada flu babi, telah membuat bangsa pemakan babi jadi tidak nyaman. Flu Onta, pun demikian. Binatang tunggangan populer, kok jadi nama wabah. Maka pemberian nama virus pun, menjadi lebih bijaksana. 


NOVEL CORONA VIRUS 2019 (COVID 19). Semua bangsa bangsa di dunia nyaman dengan nama virus ini. Bebas stigmatisasi terhadap bangsa tertentu.  COVID 19. Tidak ada yang merasa sebagai penyebab. 


Sebenarnya, mula-mula  COVID 19 ini akan bernama Virus Wuhan. Tapi urung. 


Nah nomenklatur Merariq Kodeq ini jelas menonjok etnis tertentu. 


Tapi baiklah. Bukan itu substansi yang mau ditulis. Tapi pada tuduhan pada "adat budaya" sebagai penyebab merariq kodeq.  Itu jelas anggapan yang sangat dangkal. 


Observasi yang dilakukan Majelis Adat Sasak (MAS) menemukan bahwa ternyata  "orang dulu," rata-rata usia pernikahannya cukup tinggi. Rerata 25 tahun. 


Mengapa akhir-akhir ini terjadi perkawinan usia muda? Ada pula survey sederhana yang dilakukan Majelis Adat Sasak (MAS) terhadap pasangan "perkawinan usia muda" yang usia perkawinannya sudah mencapai lebih 5 tahun. 


Hasilnya, dominan mereka menjalani hidup bahagia dan langgeng. Dari 100 sampel yang di survey, 3 orang saja yang hubungannya putus ditengah jalan. 


Fakta ini mengungkap 4 hal menonjol penyebab perkawinan usia muda : 


1. Pola asuh 

2. Alasan ekonomi 

3. Faktor Pendidikan

4. MBA: Married by Accident


Cara penyelesaian adat terhadap kasus "too young to be married" zaman dahulu adalah : mereka dimediasi di kantor desa. 


Kepala Desa akan mengajukan beberapa pertanyaan  dan menelisik kedua calon mempelai. Pada umumnya, dilihat level kecakapannya untuk mandiri secara ekonomi. 


Bahasa sasaknya : kencaq, cekatan, cakap, terampil. 


Sebagai masyarakat agraris, pertanyaan paling umum adalah: sejauh mana perempuan bisa mengerjakan kerja-kerja di sawah. 


Begitu juga kepada calon mempelai laki. Ditanya kecakapannya bertani dan kecakapan lain. 


Jika tidak bisa menjawab pertanyaan, maka mereka akan dipisah. 


Masalahnya sekarang, institusi di desa atau dusun sudah banyak berubah. Kerja-kerja sosial seperti ini, jangan-jangan sudah dipandang tidak menarik lagi bagi aparatur di dusun atau desa, sehingga abai di dalam mengambil tanggung jawab.


Langkah yang bisa diambil: terapkan sanksi kepada Kepala Dusun, Kepala Desa yang membiarkan berlangsungnya kasus "too young to be married" ini. Peraturannya sudah jelas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menyikapi "Merariq Kodeq"

Trending Now