Cidomo Lombok, Lain Medan Lain Tarif dan Nasibnya

MandalikaPost.com
Jumat, Oktober 14, 2022 | 13.18 WIB
Wisatawan mancanegara bersama Cidomo di Gili Trawangan. (FOTO : Getty Images)

Tak seperti di era 80 - 90an, Cidomo masih menjadi transportasi publik cukup favorit dan dibutuhkan. Saat ini, jumlah Cidomo terus menurun, berbanding lurus dengan animo memanfaatkan jasanya. Toh, di destinasi wisata, Cidomo masih jadi primadona.


Lius Seran (38) bersama dua rekannya dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengekspresikan kegembiraannya, di Gili Trawangan, Minggu 9 Oktober 2022.


Bisa menjajal naik Cidomo di pulau eksotis itu, membuat Lius sangat bersukacita.


"Gembira sekali bisa coba naik ini Cidomo. Kalau pantai di NTT juga ada banyak, di Timor dan Flores juga destinasi pantai bagus. Tapi di sana tidak ada ini Cidomo. Kita senang sekali bisa ke Trawangan," kata Lius.


Deretan Cidomo menunggu penumpang di Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB. (FOTO: Ariyati Astini/MandalikaPost.com)

Cidomo adalah akronim dari Cikar, Dokar, Montor. Alat transportasi tradisional khas Lombok, kereta berkuda semacam delman di pulau Jawa.


Bedanya, kereta delman di Jawa mengunakan roda buatan dari kayu. Sementara Cidomo menggunakan roda bekas mobil. Konon, karena itu pula ada kata Montor dalam akronimnya.


Gili Trawangan sedang membuncah menyambut peak season, diharapkan hingga akhir 2022 mendatang. Tak hanya mancanegara, tamu domestik juga mulai banyak berkunjung. Rombongan Lius adalah salah satunya.


Bersama program BAKTI Kementerian Kominfotik, rombongan wartawan dari NTT ini mengeksplore beberapa destinasi wisata NTB, termasuk Gili Trawangan.


Bagi Lius, Cidomo adalah alat transportasi yang unik dan eksotik untuk berjalan-jalan mengitari sepanjang pantai Gili Trawangan bersama rombongan. Apalagi, rerata para kusir Cidomo memiliki wawasan pariwisata cukup mumpuni, yang bisa menceritakan keunggulan-keungglan Trawangan.


"Harga tarifnya memang lumayan ya, untuk kita yang dari daerah. Bertiga kami ditarik Rp250 ribu, padahal jarak relatif dekat. Tapi itu wajar, sebanding lah dengan kepuasannya. Apalagi di daerah kami NTT tidak ada kereta kuda begini," ujar pria asli Kefamenanu ini.


Selain sepeda kayuh yang disewakan di beberapa rental, Cidomo memang menjadi alat transportasi di kawasan tiga Gili ; Trawangan, Meno, dan Air, di perairan Lombok Utara, NTB.


Wisatawan mancanegara menggunakan jasa Cidomo di Gili Trawangan. (FOTO : Getty Images) 

Cidomo juga mendukung konsep ekowisata yang masih dijaga, yang mengatur larangan ada kendaraan bermotor di pulau kecil ini. Agar pulau tetap terbebas dari polusi udara.


Pemandu wisata, Zaenal mengatakan, di masa-masa ramai seperti saat ini, Cidomo juga ketiban rezeki.


"Cidomo bisa memanjakan wisatawan yang tak ingin lelah jalan kaki atau mengayuh sepeda dayung, selama mengitari pulau," ujarnya.


Mulai ramai kunjungan di Gili Trawangan, membawa kebahagiaan tersendiri bagi Amaq Jun (48), salah seroang kusir Cidomo Trawangan.


"Alhamdulillah, Gili mulai ramai. Banyak yang naik Cidomo," ujar dia.


Amaq yang sudah belasan tahun di Gili Trawangan mengaku tarif Cidomo di Gili memang jauh lebih mahal ketimbang di Lombok. Tapi hal ini wajar. Sebab untuk perawatan kuda dan biaya pakannya juga cukup tinggi. Beberapa pakan harus didatangkan dari luar Gili, dengan biaya yang cukup tinggi dari pelabuhan Bangsal.


Saat ini tercatat sebanyak 32 unit Cidomo beroperasi di Gili Trawangan dibawah koordinasi Koperasi Janur Indah. Jadwal mereka dibagi-bagi, untuk siang dan malam.


Setiap kapal penumpang yang siap berlabuh di dermaga Trawangan, adalah harapan dan rezeki bagi para kusir Cidomo Trawangan.


Lain Medan Lain Nasib


Di kawasan pasar Ampenan, sekitar Kota Tua, Kota Mataram, Kamis 13 Oktober 2022, deretan Cidomo terlihat menunggu penumpang.


Abdullah (56), mengangkat sekarung beras dan beberapa duz belanjaan penumpang. Merapikannya di kereta Cidomo miliknya. Separuh hidup pria asal Tinggar, Ampenan ini dihabiskan setia menjadi kusir Cidomo.


"Ya dari dulu kusir. Tapi Alhamdulillah anak-anak sekolah semua dan sekarang sudah kerja," kata Abdullah membuka cerita.


Cidomo di kawasan Kota Tua Ampenan, Kota Mataram. (FOTO : Ahmad Subaidi / ANTARA Foto)

Ia mengaku bangga bisa bertahan. Meski saat ini Cidomo tak seperti dulu lagi, di era-era 80-90an. Seingat dia, zaman-zaman itu Cidomo masih kerab digunakan untuk pegawai negeri yang ke kantor, pun anak-anak sekolah ke sekolah.


Saat ini, jumlah Cidomo terus menurun, berbanding lurus dengan animo memanfaatkan jasanya. Di Kota Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat (NTB), Dinas Perhubungan Kota mencatat setidaknya ada 144 unit Cidomo yang masih beroperasi. Akses pun dibatasi, mereka tak boleh melintas di ruas jalan utama Kota.


Sebagian besar kini hanya melayani beberapa Pasar Tradisional dan Kota Tua Ampenan.


Selain kebijakan lalulintas dan tata kota, persaingan dengan transportasi modern juga menyebabkan nasib Cidomo kian terpuruk. Memasuki era 2000-an, kredit kendaraan bermotor makin mudah dan ringan, jasa transportasi online, Ojek dan Angkutan Sewa Khusus (ASK), menjadi pilihan masyarakat.


"Kalau zaman dulu, sehari bisa lumayan dapatnya. Bisa untuk keperluan hidup dan pendidikan anak-anak. Kalau sekarang ya, dapat Rp30 ribu sehari, sudah sangat bersyukur," kata Abdullah.


Ia berharap pemerintah daerah Kota Mataram dan Pemprov NTB bisa memperhatikan nasib mereka, para kusir Cidomo.


"Hanya bisa berharap, besok-besok akan lebih baik," ujarnya.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cidomo Lombok, Lain Medan Lain Tarif dan Nasibnya

Trending Now