TGH Najamuddin Tolak Mentah-Mentah Tawaran Islah Kasus Dugaan Suap Pokir DPRD NTB, Korupsi Tidak Kenal Damai!

Rosyidin S
Kamis, Juli 24, 2025 | 19.32 WIB Last Updated 2025-07-24T11:32:56Z
Para mantan anggota DPRD NTB saat menyatukan persepsi soal dana siluman, (Foto: Istimewa/MP).

MANDALIKAPOST.com– Kasus dugaan tindak pidana korupsi penyerahan dan pengelolaan anggaran Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) Anggota DPRD Provinsi NTB tahun 2025 memasuki babak baru. Sejumlah tawaran islah atau perdamaian dikabarkan “gentayangan” menyasar para mantan anggota DPRD NTB periode 2019-2024 yang menjadi pihak di balik mencuatnya dugaan bagi-bagi uang “siluman” tersebut.


Namun, salah satu tokoh kunci, TGH Najamuddin Mustafa, dengan tegas menolak segala bentuk penyelesaian di luar jalur hukum.


“Iya, ada semacam tawaran islah. Tapi saya tegaskan tidak mungkin islah. Tidak mungkin menyelesaikan masalah hukum di luar hukum,” ungkap TGH Najamuddin Mustafa, Kamis (24/7).


TGH Najamuddin, yang merupakan anggota DPRD NTB periode 2019-2024 namun tidak mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 2024, adalah sosok sentral yang membongkar dugaan bagi-bagi uang haram ini. Kasus yang kini tengah diusut serius oleh Kejaksaan Tinggi NTB ini telah memicu pemanggilan sejumlah anggota DPRD NTB untuk dimintai keterangan.


Tokoh asal Lombok Timur ini menegaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Ini berarti, proses hukum tidak dapat dihentikan hanya karena adanya pencabutan laporan, perdamaian, islah, atau bahkan pengembalian kerugian negara.


“Tidak boleh ada perundingan-perundingan. Hukum itu, kalau bersalah, ya penjara,” tandas TGH Najamuddin, mengingatkan agar pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan bagi-bagi uang siluman ini siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.


Ia juga menilai tawaran islah yang kini berdatangan kepada 39 Anggota DPRD NTB periode 2019-2024 yang tidak terpilih lagi, sebagai tawaran yang sia-sia.


“Saya menghormati pilihan rekan-rekan sekiranya ada yang ingin menempuh jalan islah. Tapi saya sendiri menolak. Saya meyakini bahwa hukum memiliki caranya sendiri yang tak bisa ditawar oleh kesepakatan pribadi. Tindak pidana korupsi itu kejahatan kepada publik,” tegasnya.


Kasus ini bermula dari pemotongan program Pokir Anggota DPRD NTB Periode 2019-2024 yang sedianya sudah masuk dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) APBD NTB tahun 2025. Program Pokir ini sejatinya masih menjadi hak anggota DPRD sebelumnya, karena berasal dari penjaringan aspirasi mereka dan telah disahkan dalam APBD saat mereka masih menjabat.


Informasi yang beredar menyebutkan bahwa setelah pemotongan Pokir, beberapa oknum anggota dewan baru di DPRD NTB diduga mengkoordinir pembagian uang kepada rekan-rekan sesama anggota dewan baru.


Uang yang dibagikan tersebut disinyalir sebagai fee dari anggaran program yang akan didapatkan para anggota dewan baru, bersumber dari pemotongan Pokir 39 anggota DPRD NTB periode sebelumnya yang tidak terpilih kembali.


“Informasinya, masing-masing anggota dewan baru akan mendapatkan program senilai Rp 2 miliar. Namun mereka tidak diberikan dalam bentuk program, melainkan dalam bentuk uang fee sebesar 15 persen dari total anggaran program tersebut, atau setara dengan sekitar Rp 300 juta,” ujarnya.


TGH Najamuddin juga menyoroti pandangan yang menyebut pergeseran program Pokir yang sudah dalam bentuk DPA di APBD sebagai hal yang dibolehkan. Ia meminta praktisi hukum yang berpendapat demikian untuk mendalami kembali Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2019 tentang Lingkup Keuangan Daerah.


Menurutnya, pergeseran DPA di APBD hanya boleh dilakukan Pemerintah Daerah jika terjadi keadaan kahar atau memaksa, dan itupun harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke Menteri Dalam Negeri.


Ia menegaskan bahwa dalam kasus Pokir APBD 2025 ini, tidak ada keadaan kahar. Meskipun alasan efisiensi anggaran sering disebut, program fisik untuk kebutuhan masyarakat seharusnya dikecualikan dari kebijakan tersebut.


“Stabilitas anggaran itu tergantung pada konsistensi. Mengutak-atik DPA di APBD tanpa dasar darurat adalah bentuk ketidakpatuhan. Itu bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi juga pengkhianatan terhadap rakyat yang menunggu program berjalan,” pungkas TGH Najamuddin.


Ia bertekad agar kasus ini terus berproses hingga tuntas. Dengan begitu, publik dapat mengetahui secara jelas siapa yang terlibat dan bertanggung jawab.


“Kami ingin bersihkan nama di masyarakat. Bukan kita yang memotong. Bukan kita yang hilangkan. Tapi kebijakan Gubernur melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah,” tegasnya.


TGH Najamuddin tidak bersedia mengungkap siapa pihak yang menawarkan islah, namun ia memastikan bahwa tawaran tersebut masih berdatangan dan menyasar rekan-rekannya yang lain. Baginya, kesepakatan di balik layar justru berpotensi menjadi perkara hukum baru.


“Semangat damai yang ingin dibawa itu kita paham. Tapi kalau perkara korupsi, hukum harus dilalui sampai akhir,” tutup TGH Najamuddin.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • TGH Najamuddin Tolak Mentah-Mentah Tawaran Islah Kasus Dugaan Suap Pokir DPRD NTB, Korupsi Tidak Kenal Damai!

Trending Now