Masyarakat Adat Geruduk Kantor Desa Tuntut Pengembalian Tanah Ulayat Berusia Ratusan Tahun

Rosyidin S
Sabtu, Juli 26, 2025 | 21.34 WIB Last Updated 2025-07-26T13:39:38Z
Aksi: Ratusan masyarakat adat saat geruduk kantor Desa Bilok Peteung, (Foto: Istimewa/MP).

MANDALIKAPOST.com – Ratusan masyarakat adat Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur (Lotim) menggeruduk kantor desa menuntut pengembalian tanah ulayat seluas 10 hektar yang mereka klaim telah dirampas oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, termasuk dari unsur pemerintah desa, pada Rabu (23/7) yang lalu.


Aksi ini memanas setelah mediasi antara warga dan pihak terkait menemui jalan buntu, memicu ancaman aksi yang lebih besar jika tuntutan mereka tak dipenuhi.


Nasiruddin, seorang tokoh pemuda Bilok Petung, dan sebagai ketua aksi mengungkapkan kekecewaan mendalam atas tindakan perampasan tanah ulayat yang telah menjadi warisan leluhur mereka selama ratusan tahun.


Tanah tersebut, yang dikelilingi kebun masyarakat, di sebagian tanah tersebut banyak kuburan yang ditemukan walaupun tidak dapat dipastikan itu adalah makamnya para wali, raja, atau sesepuh tertentu. Namun dapat dijadikan dasar bahwa itu bukti leluhur masyarakat setempat untuk mempertahankannya.


Belum lagi dari segi pemanfaat sosialnya bagi masyarakat sekitar, seperti kayu basah untuk bahan bangunan pasilitas umum, yang kering juga untuk mendukung kegiatan ritual adat maupun dan yang lainnya.


"Menurut para sesepuh kita, hutan ulayat itu sebagai cagar budaya yang harus dijaga. Apa pun alasannya tetep tidak boleh, karena itu amanah dari nenek moyang kita yang harus kita jaga dan lestarikan," tutur Nasiruddin, saat dikonfirmasi via telepon pada Kamis (24/7).


Tanah ini dari dahulu kala, menurut Nasiruddin para tokoh dan tetua adat masyarakat setempat memberitahukan dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk menjaganya karena tanah tersebut, tanah ulayat.


"Ini warisan leluhur dan cagar budaya. Kita setuju itu dan kita dukung para tokoh kita dari dulu hingga sekarang," ketusnya menambahkan.


Nasiruddin menjelaskan bahwa meskipun tanah ulayat tidak memiliki sertifikat hukum formal atas nama masyarakat adat, keberadaannya telah diakui secara turun-temurun.


"Kalau adat tidak tertulis di dokumen pertanahan," jelasnya, menyoroti perbedaan antara hak adat dan hukum pertanahan modern.


Yang membuat masyarakat adat semakin geram adalah keterlibatan oknum-oknum yang seharusnya menjadi pelindung, bukan perampas.


Nasiruddin menyebutkan, "Yang janggal sekali kan ada oknum Kadus, ada oknum kiyai, kemudian ada anggota LKMD, dan saudara kandungnya serta keluarga besar para oknum Kadus itu," tuturnya.


Menurutnya, oknum-oknum ini berani sekali mereka melangkahi kesepakatan masyarakat, bahkan melakukan pembabatan lahan di luar sepengetahuan warga.


"Lebih-lebih mereka yang kita percayai untuk mencegah masyarakat kita untuk membabat tanah itu. Malah ini sebaliknya, sehingga masyarakat merasa terpanggil untuk mempertahankannya," kata Nasiruddin dengan nada kecewa.


Ia juga mengungkapkan bahwa pengakuan oknum-oknum tersebut yang menyebutkan pembabatan lahan sudah dilakukan sejak dua tahun lalu, berbeda dengan fakta yang diketahui masyarakat, yaitu baru beberapa bulan terakhir.


Luas tanah ulayat yang disengketakan mencapai kurang lebih 10 hektar. Nasiruddin menekankan bahwa keberadaan kuburan-kuburan tua di area tersebut menjadi bukti tak terbantahkan atas klaim mereka.


"Sejak dulu tanah ulayat itu dikelilingi oleh kebun-kebun warga, bahkan sebelum desa kita ini mekar dari Desa Sajang. Artinya, tanah ulayat itu sejak nenek moyang kita, mungkin sudah ratusan tahun ya," ujarnya.


Mengenai dasar klaim para oknum, Jayadi menduga adanya upaya memanipulasi informasi terkait sosok tokoh adat yang telah meninggal.


"Mereka sengaja itu mengambil satu tokohnya sendiri. Seolah-olah mengklaim bahwa orang tuanya atau almarhum seorang tokoh adat ini membolehkan anak cucu keturunannya untuk mengelola tanah itu, padahal tidak," ungkap Nasiruddin.


Dalam mediasi di kantor desa, situasi sempat memanas. Nasiruddin menggambarkan, justru malah mereka saling menyalahkan. Ia menambahkan bahwa pihak desa hanya memberikan waktu satu minggu untuk penyelesaian masalah ini, yang dianggap tidak memuaskan masyarakat.


Jika tidak ada kejelasan hingga Rabu mendatang, Jayadi dan masyarakat ada desa setempat mengancam, mereka akan lebih banyak dan lebih dahsyat lagi untuk lakukan aksi kembali di kantor desa.


"Masyarakat akan aksi lagi dengan masa lebih banyak dari hari kemarin," tegasnya, menggambarkan akasi besar-besaran.


Masyarakat adat Bilok Petung menegaskan tidak menuntut bagian atas tanah tersebut, melainkan ingin mempertahankan tanah ulayat agar tetap terjaga demi kepentingan bersama di masa depan. Mereka pun tak menutup kemungkinan menempuh jalur hukum jika mediasi terus buntu.


"Jika tidak ada titik terang dan solusi penyelesaian permasalahan ini, kami akan menempuh jalur hukum," pungkas Nasiruddin.


Harapan masyarakat, ke depan tanah ini semua pihak mempunyai arah pemikiran yang sama. Toh tujuan masyarakat yang beraksi kemarin itu tidak menuntut bagian agar mendapat bagian, tetapi tetap untuk mempertahankannya sehingga keuntungannya ke depan untuk khalayak.


Sementara itu, Kepala Desa Bilok Peteung, Rusdi S.Pd saat dikonfirmasi via telepon belum bersedia memberikan keterangan terkait aksi warganya yang mendatangi kantor desa belum lama ini.


"Nanti ya saya ceritakan, maaf bukannya saya tidak mau memberikan keterangan saat ini. Pinginnya saya kita bertemu langsung," ucapnya singkat.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masyarakat Adat Geruduk Kantor Desa Tuntut Pengembalian Tanah Ulayat Berusia Ratusan Tahun

Trending Now