Tanah Ulayat Bilok Peteung: Konflik Berlanjut, Warga Tuntut Pembatalan Surat Pembagian Lahan

Rosyidin S
Rabu, Agustus 06, 2025 | 18.27 WIB Last Updated 2025-08-06T12:09:48Z
Warga Desa Bilok Peteung yang bersengketa saat dimediasi oleh pemerintah Kecamatan Sembalun, (Foto: Rosyidin/MP).

MANDALIKAPOST.com – Konflik perebutan lahan kembali mencuat di Desa Bilok Peteung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Warga adat Desa Bilok Peteung menggugat keputusan pemerintah desa yang menerbitkan surat pembagian lahan (Sporadik) seluas kurang lebih 8 hektar yang mereka klaim sebagai tanah ulayat.


Sengketa ini memicu ketegangan antara warga yang menolak dan kelompok yang menerima pembagian, yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, serta beberapa perangkat desa.


Polemik ini bermula dari usulan pembagian lahan yang diajukan oleh tokoh-tokoh yang ada di dusun Landean kepada Pemerintah Desa Bilok Peteung.


Menurut Kades Rusdi S.Pd usulan itu didukung oleh berita acara dan dokumentasi yang menyatakan lahan tersebut bukan tanah ulayat atau tanah adat.


"Pertama itu murni usulan dari tokoh-tokoh masyarakat yang ada di dusun Landean  yang dikuatkan dengan dokumentasi dan berita acara. Adapun status tanah itu, kami juga menilai bahwa tanah itu memang tidak dipakai saat upacara adat, tidak ada bukti situs budaya, kemudian tidak ada ritual-ritual adat di situ," ujar Kades Rusdi, saat ditemui di Sembalun, Rabu (6/8).


"Yang kita buatkan Sporadik sebanyak 26 warga, namun yang kita terbitkan 17 sporadik sisanya menyusul. Juga yang didapatkan per orang itu luasnya berpariasi," imbuhnya.


Kades menambahkan, pemerintah desa merasa tidak punya alasan untuk menolak usulan tersebut karena secara administrasi, lahan itu tidak termasuk dalam kategori tanah adat yang terdaftar di kantor desa maupun buku inventaris.


Ia juga menyebut pembagian lahan serupa pernah terjadi di dua lokasi lain dan tidak menimbulkan masalah.


"Kami rasa sudah sesuai prosedur yang kami lakukan, meskipun di situ mungkin ada aturan yang mengatakan harus dikelola selama 3 berturut-turut baru bisa menjadi hak milik. itu sudah berlaku juga sejak lama dari tanah-tanah yang lain," jelasnya.


Pada pertemuan mediasi yang difasilitasi oleh Camat Sembalun, pihak kecamatan menyarankan agar lahan dikembalikan kepada fungsinya semula untuk kepentingan masyarakat. Namun, hingga saat ini, belum ada kesepakatan permanen yang tercapai.


Kades Rusdi mengakui langkah pemerintah desa menjadi terbatas karena kedua belah pihak masih mempertahankan sudut pandang masing-masing. Ia berharap, ada titik temu dan solusi terbaik agar konflik tidak berkepanjangan.


"Harapan kedepannya terkait dengan ini tidak ada lagi kegiatan ataupun tidak ada perselisihan lah ke depan. Kami belajar banyak dari masalah ini karena kami tidak ingin juga kontroversi ini terus berlanjut," pungkas Kades.


Sebagai langkah antisipasi, pemerintah desa berencana membentuk lembaga adat desa dan melakukan pemetaan wilayah adat untuk menghindari konflik serupa di masa mendatang.


Namun, keputusan ini ditentang keras oleh warga adat yang diwakili oleh tokoh masyarakat, Jadiwardian S.Pd. Menurutnya, lahan tersebut adalah warisan turun-temurun yang dijaga dan dipelihara oleh masyarakat, bukan tanah biasa yang bisa dibagi-bagikan.


"Kami berkelahinya dengan mereka. Di saat kita masih di Desa Sajang, tanah ini mau dijual ke orang Bali, orang Hindu," ungkap Jadiwardian, menceritakan kembali upaya penjualan lahan di masa lalu yang sempat menimbulkan perdebatan.


Jadiwardian juga mempertanyakan dasar musyawarah yang dilakukan pihak desa. Ia menegaskan bahwa musyawarah yang terjadi hanya melibatkan kelompok penerima lahan, sementara warga adat yang juga memiliki hak tidak dilibatkan.


"Musyawarahnya sama dia (Kades), tapi teman baginya tidak musyawarah dengan kami yang sama-sama memiliki hak di sana," kritiknya.


Ia juga menyoroti adanya dugaan cacat hukum dalam penerbitan surat pembagian lahan. Jadiwardian mengungkapkan bahwa warga akan melanjutkan tuntutan ke jalur hukum jika pemerintah desa tidak membatalkan surat tersebut dan mengembalikan lahan sesuai fungsinya.


"Kami tidak ingin menuntut bagian, tetapi kami ingin tanah itu kembali supaya semua mendapat bagian dalam arti menikmati bersama-sama, bukan bagian tanah yang bukan tanahnya, tetapi manfaatnya secara bersama," tegas Jadiwardian.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tanah Ulayat Bilok Peteung: Konflik Berlanjut, Warga Tuntut Pembatalan Surat Pembagian Lahan

Trending Now