Pembangunan Cacat Administrasi dan Degradasi Lingkungan Ancam Lombok Timur, Praktisi Soroti Ketidakseimbangan Program Pemerintah

Rosyidin S
Rabu, Oktober 08, 2025 | 11.15 WIB Last Updated 2025-10-08T03:39:47Z
Dr. Maharani, praktisi sekaligus peneliti iklim, (Foto: Rosyidin/MP).

MANDALIKAPOST.com – Program pembangunan dan kebijakan lingkungan di Lombok Timur menuai kritik tajam dari akademisi dan praktisi media. Sorotan utama diarahkan pada proyek pembangunan yang dinilai "cacat administrasi" karena mendahului Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) serta dampak parah dari aktivitas galian C dan kebijakan komoditas yang merusak lingkungan, namun kurangnya evaluasi berbasis riset.


Peneliti Perubahan Iklim, Dr. Maharani, dalam sebuah diskusi bersama Forum Jurnalis Lombok Timur (FJLT) dan praktisi media yang diselenggarakan oleh INKLUSI (lembaga kemitraan Australia-Indonesia), Lombok Research Center (LRC), Sabtu (4/10) lalu.


Dr. Maharani menegaskan adanya pelanggaran prosedural mendasar dalam perencanaan pembangunan daerah.


"Seharusnya, pembangunan di Lombok Timur tidak akan bisa digetok kalau RT-RW belum diselesaikan. Karena pada RT-RW ini sebagai rujukan ketika membuat proyeksi pembangunan di beberapa daerah. Jangan sampai cacat administrasi," tegasnya.


Isu lingkungan menjadi perhatian serius, terutama terkait aktivitas galian C yang diduga merugikan daerah. Berdasarkan data dari tim Dr. Maharani, potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari galian C di Lombok Timur diprediksi tidak boleh kurang dari Rp 18 miliar per tahun. Sementara uang lain saja bisa mencapai Rp 10 miliar dalam empat bulan.

 

Kualitas Lingkungan Menurun: Dari Tanah, Air, hingga Udara


Dr. Maharani juga menyoroti dampak kebijakan dan aktivitas eksploitasi pada kualitas lingkungan. Ia mencontohkan penurunan produksi padi, bawang putih dan jagung akibat kualitas tanah yang menurun.


"Ini yang akan saya riset tahun depan, seperti apa sih dampak galian C ini dari kualitas tanah, kualitas air, dan kualitas udara kita," ujar Dr. Maharani.


Ia juga menekankan bahwa air minum di beberapa titik sudah tercemar secara biologi dan kimia, melewati batas minimal konsentrasi yang aman.


Ironi Program Penghijauan dan Hilangnya Mata Air


Kritik keras juga dilayangkan terhadap program penanaman pohon yang masif namun tidak efektif. Sejak 2010 hingga sebelum 2020, Dinas Kehutanan Provinsi disebut-sebut melakukan pembibitan dan program tanam pohon yang tidak pernah kurang dari 3 juta bibit tiap tahun.


"Bayangkan, dari 2010 sampai sekarang kalau tanaman itu hidup, mungkin kita enggak  bisa berdiri saking banyaknya pohon. Tetapi anehnya 3 juta pohon tiap tahun itu kok hutan kita tambah gundul dan berkurang," ketus Dr. Maharani, menyoroti ketiadaan kajian yang mendalam sebelum penanaman.


Ia juga menunjuk pada dampak buruk kebijakan komoditas tunggal seperti bawang putih. Budidaya bawang putih yang membutuhkan sinar matahari penuh menyebabkan penebangan masif pohon pelindung kopi, mengakibatkan hilangnya mata air dari 500 mata air menjadi puluhan bahkan bisa dihitung dengan jari namun anehnya ritual budaya tetap dilakukan. 


"Mata air kita hilang, tetapi anehnya secara budaya kita tetap melakukan ritual diberbagai tempat. Salah satunya ngayu-ayu di Sembalun, itu kan memelihara mata air. Kenapa tidak dalam ritual itu reboisasi, padahal kayu-kayu itu yang menjamin mata air," sindirnya.

Dr. Maharani sebagai narasumber di acara Dialog dalam peningkatan kapasitas media dan jurnalis di prespektif lingkungan, (Foto: Rosyidin/MP).

Peran Media dan Regulasi yang Diabaikan


Praktisi media, Fathul Rakhman, menyoroti pentingnya peran jurnalis dalam mengkritisi program yang tidak berkesinambungan dan ketidakpatuhan pada regulasi. Ia menyoroti lemahnya pengawasan dan pertanggungjawaban program penanaman pohon.


"Mulai sekarang balik pertanyaan kita, kalau ada program penanaman pohon. Pak, ini pohon kayunya setelah ditanam siapa yang akan menjaganya hingga kayu itu benar-benar tumbuh seperti kayu lainnya? Pasti dijawab, lagi sebentar yang seperti itu," kata Fathul Rakhman, menyerukan jurnalis untuk tidak hanya meliput seremonial, tetapi mempertanyakan keberlanjutan.


Fathul juga mengkritik kelonggaran regulasi perizinan, khususnya sistem Online Single Submission (OSS), yang membuka celah eksploitasi. Ia mengimbau pers agar tidak terjebak pada narasi "belum ada izin" saja, tetapi menelisik lebih jauh regulasi yang memungkinkan kerusakan terjadi, seperti kasus perizinan keramba di pesisir.


Solusi: Kolaborasi dan Evaluasi Berbasis Data


Kedua narasumber sepakat bahwa solusi terletak pada kolaborasi multipihak dan evaluasi program yang berbasis data dan riset, bukan sekadar data seremonial. Dr. Maharani menekankan perlunya duduk bersama antara pemerintah daerah, kampus, media, Suwasta, dan Ormas.


"Seharusnya kelima unsur ini yang perlu kolaborasi bukan jalan sendiri-sendiri. Pemerintah jalan sendiri, kampus jalan sendiri, Suwasta jalan sendiri, media jalan sendiri, apa lagi Ormas. Mari kita duduk bersama kalau ingin Lombok Timur kita maju," pungkas Dr. Maharani.


Pemerintah daerah didorong untuk mengkaji ulang kebijakan pembangunan yang segalanya boleh asalkan ada izin, dan kembali pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta bertanggung jawab pada ekologi dan budaya lokal.


Ketua DPRD Membantah: Administrasi Sudah Memenuhi Syarat 


Menanggapi tudingan LRC, Ketua DPRD Lotim, M. Yusri, dengan tegas membantah bahwa RPJMD dan APBD Lotim cacat administrasi. Ia menjelaskan bahwa dasar penyusunan kedua dokumen tersebut adalah RTRW Pemerintah Provinsi, sehingga secara administratif sudah memenuhi.


Yusri menjelaskan bahwa RTRW Lotim masih dalam proses persetujuan di Kementerian. "Tidak ada itu cacat administrasi, dari mana dasarnya itu. Jika harus menunggu ada Perda RTRW, kapan kita eksekusi Anggaran ini, sementara 30 September semua harus clear APBD perubahan," tegas M. Yusri.


Ia menambahkan bahwa yang telah diselesaikan penyusunannya adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah diajukan ke kementerian dan tinggal selangkah lagi disetujui untuk kemudian diperdakan menjadi RTRW.


"Kita gunakan RTRW provinsi, itu kita pilah pilih seusai dengan kebutiuhan Lotim," tutupnya.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pembangunan Cacat Administrasi dan Degradasi Lingkungan Ancam Lombok Timur, Praktisi Soroti Ketidakseimbangan Program Pemerintah

Trending Now