![]() |
| Bupati Lombok Timur, H. Harul Warisin saat diwawancarai awak media, (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Bupati Lombok Timur, H. Haerul Warisin (dikenal sebagai Iron), mengambil kebijakan yang berani dan berbeda dari pemerintah daerah lainnya terkait nasib 1.600 tenaga honorer yang tidak terdaftar dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Meskipun secara aturan seharusnya dirumahkan, Bupati Iron memutuskan untuk tetap mengizinkan ribuan honorer ini untuk bekerja, sembari menunggu kejelasan status dari pemerintah pusat.
Keputusan yang diambil di tengah proses pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk memperjuangkan nasib para pekerja non-ASN.
Dari total kuota 11.029 P3K, lebih dari 8.000 data telah diproses dan hampir rampung, namun menyisakan 1.600 tenaga honorer yang statusnya masih menggantung karena tidak masuk database BKN.
Bupati Haerul Warisin secara terbuka mengakui bahwa kebijakan ini melanggar aturan yang berlaku, namun ia memilih jalan kemanusiaan untuk menjaga keberlangsungan hidup para honorer tersebut.
"Seharusnya mereka semua ini dirumahkan, tetapi kebijakan pemerintah daerah, kita biarkan mereka sesuai dengan keinginannya. Dia mau tetap silakan," ungkap Bupati Iron saat ditemui awak media usai memberikan pengarahan pada acara sinkronisasi dan harmonisasi program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Pendopo I pada Kamis (6/11) kemarin.
Lebih jauh Bupati menegaskan bahwa Pemda Lombok Timur akan terus berupaya memperjuangkan nasib 1.600 honorer ini dengan menunggu regulasi baru. Saat ini, kebijakan membiarkan mereka tetap bekerja adalah langkah sementara untuk memberikan ketenangan.
"Kami berharap dalam waktu dekat, ada informasi atau aturan dari pemerintah pusat yang memungkinkan mereka untuk di-SK-kan, misalnya dengan SK bupati, demi memberikan kepastian dan ketenangan pada mereka dalam bekerja," harapnya.
Meski tetap bekerja, Bupati menjelaskan bahwa tidak ada perubahan pada besaran pendapatan yang mereka terima. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang jelas untuk menaikkan honor mereka yang berada di luar database resmi.
"Untuk honor yang mereka terima sama dengan tahun lalu, karena kita tidak bisa menambah," pungkasnya, menunjukkan batasan finansial yang dihadapi Pemda.
Pemerintah daerah juga memberikan kebebasan penuh kepada honorer non-database untuk memilih jalannya sendiri. Apakah tetap bekerja di tempat semula sambil menunggu kejelasan status, atau mencari pekerjaan lain, termasuk berkarir di luar negeri. Keputusan ini menunjukkan sikap dilematis Pemda antara ketaatan pada aturan pusat dan tanggung jawab moral terhadap tenaga kerja di daerah.
Keputusan Bupati Lombok Timur ini menjadi sorotan sebagai langkah afirmasi daerah terhadap tenaga honorer yang terancam dirumahkan akibat aturan pusat, sekaligus menjadi penantian bagi regulasi baru yang diharapkan dapat memberikan kepastian status hukum bagi 1.600 pekerja non-ASN tersebut.

