![]() |
| Viral: Nampak air terjun musiman di perbukitan kawasan Sembalun akibat curah hujan tinggi, (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Jagat maya baru-baru ini dihebohkan oleh video viral yang memperlihatkan fenomena air terjun dadakan di lereng pegunungan dan perbukitan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat (NTB).
Narasi yang beredar menyebut fenomena tersebut sebagai "Gunung Menangis" hingga muncul tagar Pray For Sembalun. Namun, hal ini ditepis oleh tokoh adat setempat sebagai reaksi yang berlebihan dan kurang memahami kearifan lokal.
Tokoh Adat Kepaeran Sembalun, Mertawi, angkat bicara untuk meluruskan persepsi publik. Menurutnya, apa yang terlihat dalam video tersebut bukanlah pertanda bencana alam yang menakutkan, melainkan fenomena alam biasa yang disebut masyarakat setempat sebagai Aik Ilong.
Tamu Tahunan dari Padang Savana
Mertawi menjelaskan bahwa Aik Ilong adalah fenomena air terjun musiman yang muncul saat curah hujan di puncak bukit sangat tinggi. Dinamakan Ilong (ekor) karena bentuk aliran airnya yang panjang menjuntai putih menyerupai ekor sapi atau kuda.
"Gunung menangis atau bukit menangis itu sebenarnya fenomena biasa bagi kami masyarakat Sembalun. Itu adalah 'tamu tahunan'. Kami menamakannya Ilong. Ia muncul sebagai pertanda curah hujan tinggi, dan bagi kami itu bukan sesuatu yang ditakuti, justru menjadi tontonan yang indah," ujar Mertawi saat ditemui di kediamannya, Rabu (17/12).
Ia menambahkan bahwa air yang mengalir tersebut sangat jernih karena berasal dari resapan padang savana di puncak bukit, bukan air keruh yang membawa material lumpur atau batu (longsor).
Antara Tradisi dan Ancaman Modernisasi
Meski fenomena Aaik Ilong dianggap normal, Mertawi tidak menutup mata terhadap perubahan bentang alam di Sembalun akibat aktivitas manusia. Ia menyoroti banyaknya pengerukan bukit untuk pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan.
Mertawi memperingatkan bahwa kearifan leluhur dalam menjaga ekosistem mulai terkikis. Jika pembangunan dilakukan serampangan dengan mengupas vegetasi di kemiringan yang curam, maka Aik Ilong yang semula indah bisa berubah menjadi ancaman longsor.
"Sangat kita sayangkan para pemilik lahan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan. Prinsip orang tua kita dulu, sebelum menebang satu pohon, terlebih dahulu harus menanam minimal lima pohon pengganti yang baru. Harus ada perhitungan matang agar lingkungan tidak memberikan dampak buruk," tegasnya dengan nada prihatin.
Banjir yang Berbeda: Fenomena 'Nenen'
Sejarah Sembalun mencatat bahwa kawasan ini memang memiliki karakteristik unik saat musim hujan. Jika hujan turun berhari-hari, area persawahan antara Bumbung dan Lawang akan tergenang menyerupai danau yang disebut warga sebagai Nenen (Leneng, istilah Sembalun).
Berbeda dengan banjir bandang di daerah lain yang bersifat menghanyutkan, Nenen cenderung tenang. Namun, Mertawi tetap mengingatkan agar kewaspadaan tetap dijaga, terutama terkait perubahan tata guna lahan yang kini mulai merambah wilayah-wilayah resapan kritis.
Pesan Budaya: Menjaga Keseimbangan
Menutup wawancara, tokoh adat kharismatik ini berpesan agar wisatawan maupun masyarakat tidak perlu panik secara berlebihan terhadap fenomena alam, namun tetap harus menghormati alam itu sendiri.
"Alam ini berbicara dengan caranya. Aik Ilong adalah cara alam menyapa. Tugas kita adalah memastikan bahwa sapaan itu tetap menjadi rahmat, bukan musibah karena kelalaian kita merusak sandaran-sandaran bukit ini," pungkasnya.

