![]() |
Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani, Royal Sembahulun. (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Forum Wisata Lingkar Rinjani (FWLR) mendesak adanya peningkatan signifikan dalam standar keamanan dan profesionalisme di Gunung Rinjani. Desakan ini muncul menyusul serangkaian insiden kecelakaan pendaki, termasuk kasus pendaki asal Brasil, Julian Marins, yang menyoroti keterlambatan evakuasi dan minimnya standar keselamatan.
FWLR menekankan pentingnya kolaborasi antar-pemangku kepentingan untuk memastikan pelayanan dan keamanan yang lebih baik bagi para wisatawan, khususnya pendaki.
Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani, Royal Sembahulun, menyoroti insiden terakhir sebagai pemicu perumusan langkah-langkah perbaikan.
Salah satu usulan krusial adalah penetapan rasio pendampingan satu pemandu untuk empat pendaki. Selain itu, Royal menegaskan bahwa seluruh pemandu dan porter wajib memiliki sertifikat pertolongan pertama (P3K) dan pelatihan dasar penyelamatan.
Ketersediaan perlengkapan darurat di setiap pos pendakian, termasuk di area danau, juga menjadi prioritas untuk mempercepat respons saat terjadi kecelakaan.
"Kami punya 750 guide dan 1.700 porter, tetapi pengetahuan mereka tentang penyelamatan masih minim karena jarang ada pelatihan. Ini harus jadi perhatian pemerintah," tegas Royal, Senin (30/6).
Mendesak TNGR Sediakan Peralatan Penyelamatan Canggih
Ia menyoroti kesenjangan dalam kapasitas sumber daya manusia. Untuk itu, FWLR juga mendesak pemerintah untuk mengalokasikan sebagian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) kembali ke kawasan tersebut.
Dana ini diharapkan dapat digunakan untuk pengadaan alat rescue canggih, seperti drone logistik, yang dinilai mampu mempermudah dan mempercepat proses evakuasi.
"Jangan sampai korban baru dievakuasi sore hari padahal jatuh sejak pagi. Kita butuh tim penyelamat profesional, bukan sekadar relawan," tambah Royal, menggarisbawahi urgensi peralatan dan tim yang terlatih.
Ke depan, FWLR berencana memfokuskan diri pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Ini mencakup pelatihan bahasa asing, etika pelayanan, dan penyediaan makanan yang memadai bagi pendaki.
Royal juga menyinggung masalah internal porter, menyatakan, "Banyak oknum porter terpengaruh dengan judul dan pinjol, sehingga lalai melayani wisatawan. Kami akan selektif dan mendorong pelatihan rutin setiap tahun."
TNGR Akan Evaluasi SOP Pendakian dan Tindak TO Blacklist
Menanggapi hal ini, Kepala SPTN Wilayah II Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Lidya Tesa Vitasari Saputro, menyatakan komitmen pihaknya untuk mengevaluasi Standar Operasional Prosedur (SOP) pendakian menyusul insiden yang terjadi.
"Kami memiliki SOP yang jelas terkait pendakian, evakuasi, dan penanganan sampah. Namun, kami akan mengecek apakah ada kebocoran dalam pelaksanaannya, baik dari pihak TNGR maupun pelaku jasa pendakian," ujar Lidya.
Lidya juga merespons laporan mengenai beberapa Tour Organizer (TO) yang telah masuk daftar hitam (blacklist) namun masih beroperasi, termasuk TO yang digunakan oleh korban insiden. Ia menjelaskan bahwa TNGR memiliki Satuan Tugas (Satgas) khusus yang bertugas menindak pelanggaran semacam ini.
"Jika ada TO yang sudah di-blacklist tetapi masih beroperasi, kami akan mengumumkannya di akun resmi TNGR agar pendaki tidak menggunakannya," tegas Lidya, menunjukkan upaya penegakan aturan terhadap penyedia jasa yang melanggar.
Evaluasi SOP dan penindakan tegas terhadap TO yang melanggar diharapkan dapat meminimalisir insiden dan meningkatkan kepercayaan pendaki terhadap keamanan Gunung Rinjani.