MANDALIKAPOST.com – Kebijakan pemerintah pusat menonaktifkan sekitar 95.000 peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) di Lombok Timur telah memicu krisis layanan kesehatan di daerah tersebut.
Penonaktifan massal ini, yang merupakan bagian dari pencabutan 7 juta kepesertaan PBI secara nasional, kini membebani anggaran rumah sakit daerah hingga ratusan juta rupiah, memaksa Pemerintah Daerah (Pemda) Lombok Timur bekerja keras menambal kekosongan demi menjaga akses kesehatan warganya.
Direktur RSUD dr. Raden Soedjono Selong, dr. Hasbi Santoso, mengungkapkan dampak serius dari kebijakan ini.
"Sampai akhir Juni 2025, beban RS akibat pasien nonaktif BPJS sudah hampir Rp600 juta," ujar dr. Hasbi.
Ia menjelaskan angka tersebut merupakan tunggakan layanan hingga Desember 2024. Ironisnya, penonaktifan ini bukan disebabkan oleh tunggakan iuran, melainkan kebijakan pusat yang menyasar peserta PBI.
Di tengah situasi ini, Bupati Lombok Timur, Khaerul Warisin, dibawah komandonya menunjukkan komitmen kuatnya terhadap pelayanan kesehatan.
Usai memimpin rapat koordinasi dengan Dinas Kesehatan, kepala puskesmas, dan BPJS Kesehatan, Bupati melakukan inspeksi mendadak ke RSUD dr. Raden Soedjono Selong pada Selasa (15/7) kemarin.
Dalam kunjungan tersebut, Bupati menegaskan tidak boleh ada penolakan pasien dengan alasan apapun.
"Pelayanan harus diberikan dulu, urusan administrasi belakangan," tegasnya.
H. Iron sapaan akrabnya menegaskan bahwa pengecekan serupa akan terus dilakukan di fasilitas kesehatan lain.
Ia menyatakan kepuasannya atas layanan di RSUD dr. Raden Soedjono Selong, "Sekarang sudah clear. Tadi kita lihat layanan cuci darah dan poli semua berjalan lancar. Pasien juga mengaku tidak mengalami kesulitan dengan BPJS," tutur H. Iron.
Namun, di balik optimisme Bupati mengenai mutu layanan, permasalahan penonaktifan BPJS PBI tetap menjadi duri. Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial saat ini sedang berupaya keras mencari solusi untuk menutupi kekosongan 95.000 peserta tersebut.
"Pemda sedang berupaya melalui Dinas Sosial untuk menutupi kekosongan 95.000 peserta itu, agar tidak mengganggu akses layanan kesehatan warga," pungkas dr. Hasbi, menekankan urgensi menjaga hak dasar masyarakat atas kesehatan.
Krisis ini menyiratkan pertanyaan besar akan hati nurani pemerintah pusat dan koordinasi kebijakan antar-tingkat pemerintahan.
Sementara daerah berjuang menanggung dampak kebijakan nasional, ribuan warga Lombok Timur terancam kehilangan jaring pengaman kesehatan vital mereka, menanti kejelasan dan solusi konkret.