![]() |
Agam Rinjani, relawan rescue Rinjani. (Foto: Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Gunung Rinjani, dengan segala kemegahan dan tantangannya, kembali menjadi saksi bisu sebuah drama penyelamatan yang menegangkan. Insiden jatuhnya seorang pendaki asal Brazil, Juliana Marins (27), di lereng gunung ini, telah mengungkap betapa ekstremnya medan Rinjani dan urgensi kecepatan dalam operasi evakuasi.
Di balik kisah ini, berdiri Agam Rinjani, seorang relawan penyelamat berpengalaman, yang membagikan perjuangan luar biasa timnya dalam menembus bahaya demi sebuah nyawa.
Menerjang Panggilan Darurat dari Jakarta
Dalam wawancara ekslusif mandalikapost.com bersama Agam Rinjani di Sembalun belum lama ini. Saat kabar darurat tiba, Agam Rinjani dan rekannya, Tiyo Survival tengah berada di Jakarta, membahas isu keamanan pendakian Rinjani.
"Tiba-tiba kami dikabari dari Sembalun di Lombok koordinasi melalui alat komunikasi COC," kenang Agam. Tanpa pikir panjang, mereka segera menyiapkan peralatan dan bergegas kembali ke Lombok.
Setibanya di lokasi pada hari ketiga operasi, Agam mendapati tim SAR gabungan dari Taman Nasional, Basarnas, Brimob, Damkar, dan sejumlah relawan telah memulai pencarian.
Namun, Juliana belum ditemukan. Agam dan timnya langsung bergabung, menghadapi medan yang jauh lebih menantang dari yang dibayangkan.
Berpacu dengan Maut di Jurang 590 Meter
"Korban jatuh pertama di jurang kedalaman 200 meter, kemudian dihari berikutnya saat di temukan korban jatuh di kedalaman 590 meter vertikal," ungkap Agam, menggambarkan betapa mengerikannya lokasi kejadian.
Medan menuju titik jatuhnya Juliana adalah neraka bagi para penyelamat. "Kondisi ketika menuju di lokasi korban sangat sulit karena berbagai banyak rintangan yang harus dihadapi. Salah satu ada tebing yang curam, kemudian batu-batu yang berjatuhan sampai ke titik korban," jelasnya. Bahkan, ada bagian lereng dengan kemiringan 60 hingga 90 derajat.
Cuaca buruk semakin memperparah kondisi. Hujan deras dan jarak pandang yang hanya 2-3 meter membuat setiap langkah adalah taruhan nyawa.
"Belum ada di atas dan tempat kehujanan, jarak pandang cuma 2 meter 3 meter, tiba-tiba batu di depan mata," ujarnya.
Meski demikian, semangat dan kekompakan tim relawan gabungan tak tergoyahkan. Agam menegaskan, "Alhamdulillah itu bisa diselesaikan dengan kekompakan relawan gabungan," ucap Agam.
Membantah Stigma Lambat dan Menyoroti Peran Krusial Porter
Menanggapi anggapan masyarakat tentang lambatnya evakuasi di Rinjani, Agam membantahnya dengan tegas.
"Menurut saya, tim sudah bergerak cepat dan bekerja maksimal untuk mengevakuasi korban. Kenapa kesannya lambat itu karena berbagai faktor, salah satunya terkendala oleh cuaca yang tidak menentu di Gunung Rinjani selain Medan yang cukup curam," bebernya.
Agam sendiri telah terlibat dalam evakuasi sekitar 11 jenazah di Rinjani, menghadapi berbagai lokasi dan medan ekstrem. Ia menekankan bahwa semua keberhasilan adalah berkat kerja sama tim, bukan upaya individu.
"Orang berpikir selalu kayak saya yang sendiri padahal tidak," katanya.
Timnya selalu didukung oleh Taman Nasional, Basarnas, SAR Lotim, dan berbagai relawan, termasuk porter dan guide.
Secara khusus, Agam menyoroti peran vital para porter. "Paling penting itu support dari porter, mereka sebenarnya ujung tombak evakuasi di Rinjani," tegas Agam.
Ia berpendapat bahwa jika porter dilatih dengan baik, mereka memiliki potensi besar untuk mempercepat proses evakuasi karena keberadaan mereka yang sudah ada di lokasi.
![]() |
Agam Rinjani, saat naik Gunung Rinjani. (Foto: Istimewa/MP). |
Pentingnya Akurasi Berita dan Konsep Pendakian yang Jelas
Agam juga menyayangkan opini publik yang sering terbentuk akibat pemberitaan yang kurang akurat.
"Ketika mengambil sebuah berita atau memberitakan berita paling tidak dapat informasi betul-betul fakta di lapangan bukan sekadar copy paste dari berita-berita lain. Kemudian bikin berita baru yang membuat opini orang berbeda," tegasnya.
Ia menekankan perjuangan para relawan yang mempertaruhkan nyawa, seperti rekan-rekannya yang mampu bertahan semalaman di tebing tanpa makan.
Lebih lanjut, Agam menyoroti pentingnya konsep pendakian yang jelas di Rinjani.
"Mendaki gunung itu ada dua macam, ada yang modelnya gunung wisata, ada gunung adventure. Tergantung minat komunitas pendaki mau pilih yang mana, nah di Rinjani itu setengah-tengah adventure tergantung konsep mana yang mau digunakan oleh TNGR," paparnya.
Menurut Agam, masalahnya bukan pada kurangnya fasilitas, melainkan belum adanya standar baku untuk gunung sekelas Rinjani.
Demi Kehormatan Bangsa dan Kecintaan pada Rinjani
Kecintaan Agam pada Rinjani bermula saat ia mendaki gunung itu di semester 3 kuliahnya. Setelah lulus kuliah jurusan antropologi pada tahun 2015, ia kembali ke Rinjani hanya bermodal Rp10.000.
Saat ditanya apa yang membuatnya begitu jatuh cinta pada Rinjani, Agam menjawab, "Rinjani itu komplit. Itu yang membedakan dengan gunung-gunung yang lain. Kalau di Jawa ada Merbabu yang savananya bagus, di Rinjani juga ada. Ada Semeru yang punya pasir vulkano di Rinjani juga ada. Pemandian air panas ada, mau jalur hutan kayak di Sulawesi, di Rinjani ada. Rinjani dilihat dari sisi mana pun indah dan eksotik," tutur Agam.
Kembali ke insiden Juliana, Agam menceritakan bahwa di malam yang penuh risiko itu, Agam dan timnya yang berjumlah 7 orang merencanakan evakuasi Juliana melalui Danau Segara Anak. Namun, melihat keadaan lapangan yang terlalu jauh untuk turun ke danau, mereka memutuskan tidak mungkin melakukannya.
"Seandainya hujan turun malam itu, kami semua mati. Karena bebatuan di jalur itu adalah bebatuan yang labil. Yang gampang sekali longsor," ujarnya menggambarkan bahaya yang mengintai.
Ketika ditanya apa yang memotivasinya untuk tetap melanjutkan evakuasi dengan taruhan nyawa seperti itu, Agam menjawab dengan penuh haru.
"Kami ingin menaikkan nama Indonesia yang sudah buruk di mata orang luar terutama Brazil. Bahkan saya sengaja mengibarkan bendera merah putih untuk memberi semangat ke kawan-kawan yang waktu itu sudah loyo," katanya. Sebuah pernyataan yang menggetarkan, menunjukkan jiwa nasionalisme yang mendarah daging di setiap langkah penyelamatan.
Harapan untuk Masa Depan Rinjani
Sebagai penutup, Agam menyampaikan harapannya kepada pemerintah. "Harapan kita, dengan apa yang terjadi ini diperkuat lagi semua mulai dari sistem rescue dibenahi. Jangan hanya zero waste saja dibenahi, tapi juga zero incident juga," tegas Agam.
Ia juga menekankan pentingnya pelatihan berkala bagi para pemandu gunung dan pihak terkait untuk meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab dalam menjaga keselamatan pendaki.
Kisah Agam Rinjani adalah pengingat akan dedikasi tak terbatas para pahlawan tak dikenal yang mempertaruhkan segalanya demi keselamatan sesama. Sebuah kisah tentang keberanian, persatuan, dan cinta yang mendalam terhadap tanah air dan alamnya.