Penolakan Pembangunan TPST di Desa Sajang Berlanjut, BPD Soroti Pentingnya Lokasi Tepat dan Regulasi Jelas

Rosyidin S
Selasa, Juli 15, 2025 | 23.34 WIB Last Updated 2025-07-15T15:50:55Z
Tolak: Bener penolakan masyarakat dari tiga dusun yang ada di Desa Sajang masih berdiri kokoh, pertanda penolakan pembangunan TPST di wilayah tersebut masih berlanjut, (Foto: Rosyidin/MP).

MANDALIKAPOST.com – Rencana pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, hingga saat ini masih menghadapi penolakan signifikan dari sebagian masyarakat di Desa setempat.


Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sajang, Sapardi, mengungkapkan bahwa kekhawatiran utama masyarakat adalah potensi dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, serta kurangnya regulasi yang jelas terkait pengelolaan sampah.


Sapardi menjelaskan bahwa penolakan ini berakar pada kekhawatiran akan timbulnya penyakit akibat bau dan lalat yang identik dengan tempat penampungan sampah.


"Masyarakat masih khawatir dampaknya itu menimbulkan penyakit karena banyaknya yang akan ditimbulkan, misalnya lalat," ujar Sapardi saat dikonfirmasi belum lama ini.


Ia juga menambahkan bahwa masyarakat belajar dari pengalaman buruk pembangunan tempat sampah yang tidak sukses di tempat lain.


"Melihat juga banyak pembangunan bangunan tempat sampah yang tidak sukses sampai saat ini," katanya.


Meskipun konsep TPST berbeda dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) karena adanya pengolahan dan daur ulang, masyarakat tetap menolak dengan alasan lokasi pembangunan yang berdekatan dengan permukiman dan area perkebunan penduduk. 


Masyarakat menginginkan lokasi yang lebih jauh, idealnya di kawasan Taman Nasional atau hutan, untuk menghindari dampak langsung pada penduduk dan lahan pertanian. 


"Inginnya masyarakat tempat itu minimal yang ada di Taman Nasional atau jangan di sekitaran dekat permukiman atau tempat perkebunan penduduk," terang Sapardi.


Untuk diketahui, belum lama ini Pemdes Sajang bersama tokoh masyarakat setempat dua kali berkunjung ke Sandubaya, Naramada, Lombok Barat untuk melihat langsung kondisi TPST yang diharapkan dapat meyakinkan masyarakat, ternyata belum sepenuhnya berhasil.


Sapardi menyoroti masalah sampah yang sulit terurai seperti popok (pempes) sekali pakai. "Memang pernah Pemdes bersama sejumlah tokoh masyarakat TPST di Sandubaya, tapi masyarakat merasa itu belum cukup. Karena ada beberapa jenis sampah yang belum bisa terurai, seperti pempes," ungkapnya.


Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat bahwa tidak semua jenis sampah dapat tertangani dengan baik di TPST tersebut.


Selain lokasi dan dampak lingkungan, masyarakat juga menuntut adanya regulasi yang jelas terkait pengelolaan TPST.


Sapardi menekankan pentingnya pemerintah atau Prmda mengundang masyarakat kembali untuk sosialisasi yang lebih mendalam dan transparan mengenai rencana pembangunan dan regulasi yang akan diterapkan.


"Mungkin perlu dari pihak terkait kembali mengundang masyarakat, untuk sosialisasi. Kita bedah rencana kedepannya, seperti apa regulasi yang akan ditawarkan," kata Sapardi. 


Ia berharap ada kejelasan regulasi dari pemerintah agar masyarakat tidak merasa ragu.


"Regulasi yang dimaksud itu, pengelolaan dan teknisnya seperti apa. Misal, jika terjadi kendala atau mangkrak dikemudian hari, apakah tanahnya itu jadi aset Pemda atau kembali ke masyarakat. Sehingga tidak ada keraguan dari masyarakat, ini juga harus dipikirkan," ujarnya.


Pemerintah Desa Sajang sebenarnya telah melakukan sosialisasi, namun belum menemukan titik terang karena masih adanya pro dan kontra dari masyarakat. Akibatnya, penanganan masalah ini kini dialihkan ke Pemerintah Kabupaten Lombok Timur.


Sebagai BPD, Sapardi menegaskan posisinya yang netral, yaitu menyerap dan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah.


"Tentunya dari BPD sebagai tugas menyerap aspirasi dari masyarakat. Tugas kami menyampaikan aspirasi dan keluhan dari masyarakat," jelas Sapardi.


Ia juga mengakui bahwa pembangunan TPST ini penting untuk mendukung pariwisata di Sembalun.


"Tujuannya sangat bagus untuk mendukung keberlanjutan pariwisata di Sembalun. Jadi perlu ada solusi tepat penanganan yang tepat masalah sampah di Sembalun," katanya.


Namun, ia menekankan pentingnya kajian mendalam terkait lokasi yang cocok dan pendekatan sosialisasi yang tepat agar tidak menimbulkan penolakan dari masyarakat. 


"Yang perlu dikaji adalah lokasi yang cocok dan pas, sehingga masyarakat tidak menolak," tegas Sapardi.


Ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan apakah lokasi pembangunan bisa di lahan TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani) atau dengan pendekatan lain agar masyarakat tidak salah paham.


Penolakan ini, menurut Sapardi, murni berasal dari kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan, lokasi yang tidak tepat, dan pengalaman buruk dengan pengelolaan sampah sebelumnya.


"Penolakan ini, saya tidak melihat dipolitisasi oleh siapapun ya. Penolakan ini murni dari masyarakat," pungkasnya.


Hingga berita ini diturunkan, belum ada pertanyaan resmi dari pihak pemerintah daerah, berdasarkan informasi yang dihimpun pembangunan TPST tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Lombok Timur.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Penolakan Pembangunan TPST di Desa Sajang Berlanjut, BPD Soroti Pentingnya Lokasi Tepat dan Regulasi Jelas

Trending Now