![]() |
Rapat koordinasi Sistem Satu Pintu untuk pendakian Gunung Rinjani, (Foto: Rosyidin/MP). |
Rapat ini dihadiri oleh ketua dan perwakilan Komisi IV DPRD Lombok Timur, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, KPH Rinjani Timur, Forum Wisata Lingkar Rinjani, Porter, Guide, dan komunitas Sopir Rinjani.
Pertemuan ini menjadi wadah bagi masyarakat lokal untuk menuntut kejelasan dan perlindungan hukum terkait pengelolaan wisata Gunung Rinjani yang selama ini dinilai kurang berpihak pada mereka.
Dalam forum tersebut, berbagai persoalan diungkapkan, mulai dari ketidakadilan dalam sistem rotasi kerja hingga kurangnya intervensi pemerintah daerah dalam menjamin kesejahteraan pelaku wisata lokal. Salah satu perwakilan masyarakat dengan tegas menyampaikan.
"Hari ini, keberlanjutan dari hering kami di kantor DPRD satu bulan yang lalu. Dengan tuntutan yang sama yakni regulasi Sistem Satu Pintu untuk pendakian Rinjani yang adil, mandiri, dan berkelanjutan," jelas Ketua SMPS, Handanil SH, di Sembalun.
Titik redanya, terkait peran masyarakat Porter, guide, transportasi, UMKM diatur adil dan profesional, termasuk homestay dan layanan warga lokal disinergikan dengan sistem rotasi kerja adil, jaminan kesejahteraan yang menjadi persoalan di Sembalun saat ini.
Tuntutan Perlindungan Hukum dan Regulasi yang Jelas
Handanil juga merasakan kegelisahan masyarakat dimana maksud dan tujuannya hering di kantor DPRD satu bulan yang lalu untuk mencari dukungan dari pemerintah terkait permasalahan yang di alami oleh para pelaku wisata di Sembalun.
"Jadi kami di sana datang hearing tapi justru kami dikasih kuliah umum yang dikasih kesempatan berbicara cuma satu orang selebihnya kita lebih memojokkan pihak TNGR. Bukan itu maksud kami," ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Handnil juga menegaskan pentingnya payung hukum untuk melindungi masyarakat dan pelaku usaha wisata pendakian Gunung Rinjani, khususnya masyarakat Sembalun.
"Harapan kami kepada Bapak Dewan dan Pemda Lombok Timur itu, ada bentuknya Perbup atau Perda sehingga ada perlindungan atau payung hukum untuk pelaku wisata pendakian Rinjani. Jangan sampai masyarakat kami melakukan bentuk-bentuk premanisme, kan tidak elok seperti itu," kata Handanil.
"Jadi harapan kami ada berbentuk-bentuk perlindungan, ada dasar hukumnya yang mengatur tentang pengelolaan sistem satu pintu untuk pendakian Rinjani yang adil, mandiri, dan berkelanjutan," harapnya menambahkan.
Keluhan Porter dan Guide Lokal: Dari Speaker Berisik hingga Ketimpangan Pendapatan
Selain itu, para porter dan guide lokal juga menyampaikan unek-unek mereka yang selama ini terpendam. Salah satu guide menyoroti masalah speaker yang mengganggu ketenangan pendakian.
"Pernah saya beberapa kali menegur ke wisatawan yang membawa dan menggunakan speaker di Gunung Rinjani, itu kan mengganggu kenyamanan wisatawan lain. Ini juga jadi masalah diatas, jadi ini juga sangat sangat perlu kita pikirkan bersama," ujar Lukmanul Hakim.
Ketimpangan pendapatan dan kurangnya kesempatan kerja menjadi isu krusial. "Kami di Sembalun ini hanya sebagai penonton itu poinnya. Seperti Pak Handanil bilang tadi itu hampir 90% banding 10% kami di Sembalun ini banyak nganggurnya daripada kerjanya," keluhnya yang merasa terpinggirkan meskipun telah memiliki lisensi guide.
Lebih lanjut, ia mengemukakan permasalahan guide berlisensi yang kalah saing dengan "guide abal-abal" dan praktik penjualan paket wisata yang tidak masuk akal.
"Kami berlisensi loh Pak sebagai guide yang di Sembalun ini berlisensi dan guide yang di luar ini hampir 80% itu abal-abal ini buat apa kami mengadakan pelatihan-pelatihan yang berlisensi itu sementara kami ini nganggur itu," tutur Lukman.
Mendukung Pemecahan Wilayah dan Keterlibatan Masyarakat Lokal
Dalam upaya mencari solusi, masyarakat Sembalun sangat mendukung pemecahan wilayah pengelolaan Rinjani. Hal ini dinilai akan membawa banyak keuntungan, termasuk pengendalian pengunjung yang lebih baik, peningkatan keamanan pengawasan, dan pelestarian lingkungan.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap pelatihan juga menjadi tuntutan utama.
"Selain itu, kami juga sangat mengharapkan setiap ada pelatihan itu minimal ada masyarakat lokal yang dilibatkan gitu itu, biar kami juga tahu langkah-langkah apa yang kami harus lakukan di lapangan," pungkasnya.
Pertemuan ini menjadi cerminan bahwa Gunung Rinjani adalah warisan alam, sumber ekonomi, dan ruang hidup. Masyarakat Sembalun meyakini bahwa manajemen berbasis kawasan dan satu pintu adalah solusi adil, lestari, dan mandiri.
Oleh karena itu, melibatkan masyarakat desa dan pemerintah demi masa depan Rinjani yang berkeadilan dan berkelanjutan menjadi kunci utama. Apakah suara dari kaki Rinjani ini akan didengar dan ditindaklanjuti oleh para pemangku kebijakan? Tunggu kelanjutan informasinya di mandalikapost.com portal berita seputaran Nusa Tenggara Barat.