![]() |
| Sampah-Sampah di TPA Kebon Kongok Lombok Barat |
MADALIKAPOST.com –Melalui program pemanfaatan biomassa sebagai bahan co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang, NTB tidak hanya berambisi mewujudkan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan, tetapi juga mendukung target bauran energi terbarukan nasional yang ambisius. Ini adalah kisah kolaborasi strategis yang melibatkan PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah (UIW) NTB, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Kebon Kongok Lombok Barat.
Program ini bukan sekadar inisiatif biasa melainkan manifestasi nyata dari komitmen daerah untuk mengatasi masalah sampah sekaligus memperkuat ketahanan energi. Dari tumpukan sampah yang tadinya hanya menjadi beban, kini muncul harapan baru sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
Kepala UPT TPA Kebon Kongok, Radyus Ramli Hindarman, menjelaskan bahwa gagasan ini bermula pada awal 2020 dengan program bernama Jeranjang Olah Sampah Setempat (JOSS). "Ini sebenarnya inisiatif dari PT PLN, kemudian dilakukanlah penelitian dan pengembangan, awalnya, JOSS berfokus pada produksi Solid Recovered Fuel (SRF) dan berupaya menciptakan Refuse Derived Fuel (RDF) ," ungkap Radyus. Sabtu (25/10).
Dua tahun lamanya, tim peneliti melakukan berbagai uji coba untuk menemukan komposisi yang paling tepat dan dapat diterima oleh PLTU. Proses litbang (penelitian dan pengembangan) ini krusial untuk memastikan biomassa yang dihasilkan memenuhi standar teknis PLTU dan memberikan efisiensi yang optimal.
"Hasil litbang terakhir menunjukkan bahwa PLTU tidak dapat mengakomodir RDF sepenuhnya. Komposisi sampah yang bisa ditangani oleh burner PLTU adalah 95 persen sampah organik seperti daun dan ranting, serta 5 persen sampah non-organik," jelas Radyus.
![]() |
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Kebon Kongok Lombok Barat. |
Perbedaan mendasar antara RDF dan SRF terletak pada tingkat homogenitas bahan. RDF cenderung lebih heterogen, mencakup berbagai jenis sampah termasuk plastik dan tekstil, yang kemudian diolah menjadi briket atau pelet. Sementara itu, SRF lebih homogen secara material, berfokus pada bahan-bahan dengan nilai kalori tinggi yang konsisten untuk menghasilkan biomassa. Dalam konteks Jeranjang, fokus pada sampah organik dengan persentase kecil non-organik menjadikan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik SRF yang lebih sesuai dengan kebutuhan PLTU.
Kesuksesan program ini tidak lepas dari kerja sama erat berbagai pihak. Radyus Ramli Hindarman menambahkan bahwa selama fase litbang, ada Nota Kesepahaman (MOU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi NTB, PLN, dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian.
"Semua peralatan listrik, semua bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat BBJP atau biomassa itu disediakan oleh PLN. TPA hanya menyediakan tenaga saja," ujar Radyus.
![]() |
| Proses Penggilingan sampah ymg sudah di pisahkan |
Selain itu, bantuan juga datang dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). "Sekarang kami sudah dibantu peralatan pencacah, mesin splitter, ada juga mesin primalis reader, kemudian ada mesin penghalus. Itu kami dibantu oleh Kementerian PUPR berupa alat tahun 2024. Sekarang, batang pohon pun bisa kami olah di sini," paparnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah di TPA adalah kondisi sampah yang masuk seringkali tercampur. "Dari port kita itu di pemilihan dan menghabiskan tenaga, biaya," keluh Radyus. Kondisi ini membuat proses pemilahan awal menjadi sangat intensif dan memakan sumber daya.
Untuk mengatasi tantangan ini, UPT TPA Kebon Kongok telah mengusulkan solusi inovatif kepada pemerintah kabupaten/kota. "Kami menyampaikan kepada kabupaten/kota agar bahan-bahan sampah organik dan non-organik, seperti daun dan ranting yang sudah terpilah yang masuk TPA, tidak dikenakan kompensasi jasa pelayanan," terang Radyus.
Selain itu, TPA Kebon Kongok juga proaktif dalam mengumpulkan bahan baku. Untuk sampah plastik, TPA langsung mengambil dan mengolahnya dengan cara dicacah saja. Pendekatan proaktif ini tidak hanya membantu mengatasi masalah sampah di masyarakat tetapi juga memastikan pasokan bahan baku yang konsisten untuk produksi biomassa.
"Masyarakat di sini, dari Narmada hingga Batulayar, Mataram, dan sekitarnya, jika selalu ada perantingan atau penebangan, bisa menghubungi kami untuk pengangkutan," ajaknya.
Saat ini, kapasitas produksi biomassa di TPA Kebon Kongok mencapai 10 ton per hari, dengan kebutuhan bahan baku sekitar 5 ton per hari. Radyus menyebutkan, "Untuk PLN sebenarnya berapa besar kami produksi diterima. Kalau tidak salah, 5 persen bahan bakar dari batu bara itu untuk biomassa. Ini berarti jika PLTU Jeranjang membutuhkan 2.000 ton batu bara per hari, 5 persennya atau sekitar 100 ton per hari harus dipasok dari biomassa,” tuturnya.
Meskipun demikian, produksi rata-rata saat ini masih sekitar 100 ton per bulan. Kendala utama dalam peningkatan produksi adalah pasokan bahan baku yang masih terbatas.
"Sebenarnya tergantung pasokan bahan. Tapi target dari PLN memang kami diminta untuk meningkatkan kapasitas produksi, cuma kami terkendala pasokan bahan," imbuhnya.
Dengan volume sampah yang masuk ke TPA setiap hari sekitar 350 ton, potensi bahan baku sebenarnya sangat besar. Namun, diperlukan sistem pemilahan yang lebih efektif di hulu untuk memaksimalkan pemanfaatan sampah menjadi energi .



