Peringatan Bencana di Sembalun: Pengerukan Lahan Skala Besar Ancam Longsor dan Banjir

Rosyidin S
Selasa, September 23, 2025 | 21.15 WIB Last Updated 2025-09-23T14:06:50Z
Lokasi pengerukan alih pungsi lahan di Desa Sembalun Bumbung, (Foto: Rosyidin/MP).

MANDALIKAPOST.com - Aktivitas pengerukan lahan skala besar di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur, menuai protes keras dari komunitas lingkungan dan masyarakat setempat.


Komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup (KPLH-SEMBAPALA) dan Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS) menyoroti pengerukan yang diduga dilakukan oleh investor ini berpotensi besar memicu bencana longsor dan banjir, terutama saat musim hujan tiba.


Yamni, salah satu anggota Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun, mengecam keras pengerukan yang dilakukan di area berdekatan dengan hutan dan perbukitan. Ia menyayangkan sikap lembaga-lembaga adat dan lingkungan yang terkesan abai terhadap persoalan ini.


"Kami sangat menyayangkan hal ini terjadi di bukit maupun tempat-tempat yang berdekatan langsung dengan hutan. Sangat miris sekali melihat hal-hal seperti itu karena tidak satu dua kali setiap datang musim hujan selalu terjadi longsor," ujar Yamni, Selasa (23/9).


Ia juga mempertanyakan peran lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga lingkungan.


"Yang kita sayangkan adalah di Sembalun ini sangat lengkap lembaganya. Seharusnya lembaga-lembaga ini yang memperhatikan aktivitas-aktivitas investor yang berada di lereng-lereng bukit," tambahnya.


Yamni juga menyoroti ironi di balik alasan pembangunan yang sering mengatasnamakan pariwisata. Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak menolak investor, namun aktivitas yang dilakukan harus patuh pada aturan dan tidak merusak lingkungan. Pengerukan lahan yang masif dinilai bertentangan dengan upaya menjadikan Sembalun sebagai kawasan agrowisata.


"Kami tidak menolak adanya investor yang masuk di Sembalun, tetapi harus ada aturan dan regulasi yang jelas terkait pengerukan lahan dan pembangunan," tegasnya.


Ia khawatir aktivitas ini akan mengulang bencana longsor seperti yang pernah terjadi di tahun 2006 dan 2012 silam.


"Pemerintah harus hadir. Kalaupun terjadi longsor, apa konsekuensinya? Kami menuntut pertanggungjawaban dari investor yang menyebabkan lahan pertanian masyarakat rusak," kata Yamni.


Ketua KPLH-SEMBAPALA, Rijalul Fikri, menyoroti kendala utama yang menghambat advokasi, yaitu status lahan yang dimiliki secara pribadi dan ketiadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang jelas.


"Yang membuat kita sulit untuk mengadvokasi itu kalau menurut saya karena itu milik pribadi," ujar Rijal.


Ia menjelaskan bahwa tanpa regulasi RTRW, tidak ada payung hukum yang kuat untuk menindak investor atau pemilik lahan. 

"Sampai dengan saat ini RTRW belum disahkan. Sehingga tidak ada dasar hukum untuk kita juga misalnya menuntut masyarakat kita yang mengalihfungsikan lahan," ungkapnya.


Rijalul juga merasa pemerintah daerah terkesan menutup mata terhadap persoalan ini. Padahal, menurutnya, masalah pengerukan ini sudah lama menjadi keprihatinan.


Ia menegaskan pentingnya kolaborasi dan regulasi yang jelas agar tidak terjadi dampak negatif yang membahayakan masyarakat luas.


"Bukan berarti kita, masyarakat Sembalun atau KPLH, menolak investor. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika itu hak pribadi jangan juga semau-maunya, karena sekali lagi ada juga hak-hak umum di sana yang akan menjadi dampak negatif nantinya," pungkasnya.


Di sisi lain, Kepala Desa Sembalun Bumbung, Suniardi, mengaku tidak mengetahui adanya aktivitas pengerukan ini. Ia mengungkapkan bahwa pihak desa tidak memiliki kewenangan untuk melarang karena ketiadaan regulasi dari pemerintah daerah.


"Kami tidak pernah diinformasikan terkait pengerukan itu. Jika pun ada, kami tidak bisa melarang atau intervensi karena regulasi payung hukum dari daerah terkait dengan alih fungsi lahan seperti yang terjadi saat ini belum ada jadi acuan kita melarang yang punya lahan," katanya.


Suniardi menambahkan, kondisi ini membuat pemerintah desa merasa terkunci dan dilema sedangkan Pemdes menjadi sasaran kemarahan masyarakat.


"Harapan kita, Pemda, Pemprov maupun pemerintah pusat segera buatkan kami regulasinya. Agar ada jadi acuan kami di bawah, ujung-ujungnya kami disalahkan oleh masyarakat," tutupnya.


Pihak desa juga mengungkapkan bahwa sebagian besar surat jual beli tanah investor tidak melalui desa, melainkan langsung ke notaris, sehingga sulit untuk melakukan pengawasan.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Peringatan Bencana di Sembalun: Pengerukan Lahan Skala Besar Ancam Longsor dan Banjir

Trending Now