![]() |
| Ilustrasi: Foto satelit obyek tanah adat di Desa Bilok Petung, (Foto Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Ketegangan terkait sengketa tanah adat atau ulayat di Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, kian meruncing.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, yang enggan disebut namanya menyayangkan sikap Pemerintah Daerah (Pemda) Lombok Timur yang dinilai lamban dan hanya memberikan janji manis tanpa aksi nyata di lapangan.
Dalam keterangannya pada Senin (22/12), ia mengungkapkan bahwa ketidakpastian hukum atas tanah seluas kurang lebih 7 hektar tersebut mulai memicu gesekan di tengah masyarakat, terutama melalui media sosial.
Tokoh masyarakat tersebut menekankan bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Ia melihat adanya potensi keributan yang besar jika pemerintah terus menunda penyelesaian.
"Janganlah berikan janji-janji kepada warga bahwa akan turun hari ini,Minggu depan dan seterusnya. Kami minta supaya segera ditangani jangan hanya sekedar janji. Kasihan kami yang di Bilok Petung ini, kalau hal ini terus berlanjut kita tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti," ujarnya dengan nada khawatir.
Ia juga menyoroti maraknya unggahan di media sosial yang menyudutkan pemerintah dan memicu emosi warga.
"Apa lagi masyarakat yang tidak paham selalu memposting hal-hal yang menyudutkan pemerintah, mengatakan pemerintah tidak becus dan sebagainya. Itu sangat memicu keributan di kalangan masyarakat," tambahnya.
Terkait status administrasi lahan, muncul desakan untuk mencabut surat sporadik yang dipegang oleh pihak tertentu. Namun, pihak desa tampaknya menghadapi jalan buntu secara hukum.
Menurutnya, kepala desa masih menunggu dasar hukum yang kuat atau keputusan dari pemerintah kabupaten untuk melakukan pencabutan agar tidak memicu gugatan balik dari pihak pengelola.
Persoalan ini semakin pelik karena lahan tersebut diketahui telah terdaftar dibagian aset Pemerintah Daerah, sebagai tanah adat desa Bilok Petung.
"Saya rasa semua masyarakat tahu bahwa tanah ini memang tanah adat. Sudah terdaftar juga di bidang aset kabupaten sebagai aset tanah adat. Orang tua dulu bilang tanah ini 'Pemali' (sakral). Jangankan mengelola, menebas rumput di pinggirnya saja dulu didenda kerbau atau sapi," jelasnya..
Bagi warga Bilok Petung, lahan yang dikenal sebagai kawasan hutan ini bukan sekadar tanah kosong. Masyarakat meyakini hutan tersebut memiliki fungsi ekologis sebagai pengatur hujan bagi desa mereka.
"Keyakinan warga kami, hutan ini membawa hujan. Hujan itu menyebar dari sana ke seluruh Bilok Petung. Maka harus dipertahankan dan dilestarikan, bila perlu kita tanami kembali," tuturnya.
Menutup keterangannya, Hamdan meminta Pemda Lombok Timur untuk tidak lagi menunda pembentukan tim penyelesaian sengketa sebagaimana yang sempat dijanjikan. Ia berharap pemerintah segera turun ke lokasi untuk memberikan solusi final demi menjaga kondusivitas desa.

