![]() |
Sidang ke-6 Juli Edy Priyanto di PN Mataram Makin Memanas: Fakta Persidangan Bongkar Pola Penipuan. |
MANDALIKAPOST.com — Sidang ke-6 kasus dugaan penipuan Rp 23 juta yang menyeret mantan pejabat PLN Lombok Timur, Juli Edy Priyanto, berlangsung panas di Pengadilan Negeri Mataram, Selasa, 9 Desember 2025. Agenda kali ini menghadirkan saksi-saksi yang membuka fakta mengejutkan dan membuat posisi terdakwa semakin terpojok, di tengah ancaman hukum Pasal 372 KUHP (penggelapan) dan Pasal 378 KUHP (penipuan).
Saksi Bongkar Dalih “Investasi” yang Tak Pernah Ada
Saksi dari pihak istri pelapor tampil dengan pernyataan tegas yang mematahkan klaim terdakwa. Ia membantah keras bahwa uang yang diterima terdakwa merupakan bagian dari investasi atau bisnis apa pun.
Saya tidak pernah tahu soal investasi, tidak ada pembicaraan, dan tidak ada penyerahan uang untuk urusan bisnis,” kata saksi di hadapan majelis hakim, menegaskan hubungan dengan terdakwa murni profesional.
Fakta persidangan mengungkap bahwa terdakwa sering menjadi pasien penyakit saraf dan membeli obat di apotek tempat saksi bekerja, namun komunikasi yang terjadi justru kerap melewati batas profesional. Dugaan gangguan komunikasi inilah yang menjadi pemicu pelapor mengirim uang Rp 23 juta kepada terdakwa demi menghentikan interaksi tersebut.
Saksi Pertama Ungkap Dalih Utang & Permintaan Uang
Saksi pertama, I Gede Permana, menegaskan bahwa terdakwa mengaku bahwa istri pelapor memiliki utang kepadanya, dan itu dijadikan dalih untuk meminta uang.
Pelapor mengirim uang Rp 23 juta agar istrinya tidak terus diganggu, tapi terdakwa tetap menghubungi istri pelapor,” kata Permana.
Keterangan ini memperlihatkan dugaan pola komunikasi dan manipulasi yang sistematis, sekaligus menambah tekanan terhadap terdakwa yang kini menghadapi dua pasal pidana serius.
Kuasa Hukum Terdakwa: Kasus Ini Dipaksakan
Di luar ruang sidang, kuasa hukum terdakwa menegaskan bahwa kasus ini terkesan dipaksakan sejak awal. Ia menuding konstruksi perkara lemah, dan banyak fakta persidangan yang dianggap tidak mengarah pada niat jahat.
Kami melihat dakwaan ini dipaksakan. Tidak ada bukti kuat, dan unsur penipuan tidak terpenuhi. Semua keterangan saksi harus diuji dengan objektif,” ujar pengacara terdakwa.
Namun, pernyataan kuasa hukum tersebut tampak tak mengurangi sorotan tajam terhadap pola komunikasi terdakwa yang terus terbuka di persidangan.
Pola Terstruktur & Investigatif: Bukti Digital Jadi Kunci
Majelis hakim menekankan pentingnya pembuktian digital dan kronologi komunikasi untuk melihat apakah dugaan penggelapan dan penipuan benar-benar terjadi. Fakta bahwa terdakwa tetap menghubungi istri pelapor, walau uang sudah dikirim, menjadi titik kritis yang diperiksa secara detail.
Sidang ke-6 ini menegaskan bahwa perkara ini bukan sekadar kasus biasa. Dugaan modus, dalih utang, dan interaksi berulang dengan pihak istri pelapor membuka perspektif pola penipuan yang terstruktur, yang harus diuji secara hukum sebelum keputusan akhir.
Sidang Lanjut: Tekanan Semakin Berat
Sidang berikutnya akan menghadirkan saksi tambahan dan pemeriksaan bukti elektronik. Publik menunggu apakah fakta persidangan akan memperkuat dugaan jaksa, atau justru menjadi celah pembelaan.
Ancaman Pasal 372 dan 378 KUHP membuat situasi hukum terdakwa kian genting. Fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa posisi terdakwa tidak hanya berada di bawah sorotan hukum, tetapi juga di bawah tekanan moral dan etika publik.
REPORTER : ABDUL RAHIM

